Rasa kesal itu disampaikan Jokowi dalam rapat terbatas membahas antisipasi perkembangan perekonomian dunia, di kantor Presiden, Rabu (4/9/2019). Menurut catatan Bank Dunia, dari 33 perusahaan tersebut, 23 pindah ke Vietnam, dan 10 sisanya memilih ke Malaysia, Kamboja, dan Thailand.
Kondisi tersebut jelas menjadi pekerja bagi pemerintah. Bahkan Presiden Jokowi sampai kesal dibuatnya. Lantas apa saja sebenarnya yang jadi persoalan? Berikut informasi selengkapnya:
Proses Perizinan Lelet
|
Deputi Gubernur Senior BI Destry Damayanti/Foto: Danang Sugianto
|
"Pak Presiden kan menjadi concern kenapa ada 33 perusahaan yang dari China pergi. Kenapa mereka pindah, kan untuk ngirimkan ke AS juga susah kan, kok nggak ada yang masuk ke RI," ujarnya di Museum Bank Indonesia, Jakarta, Jumat (6/9/2019).
BI, kata Destry, juga ikut menelusuri mengapa 33 perusahaan itu ogah masuk ke Indonesia. Menurutnya salah satu penyebabnya lantaran mereka keberatan dengan perizinan di Indonesia.
"Memang kemudian kita telusuri. Satu hal yang memang membuat mereka berat itu perizinan. Kalau misalnya masalah wilayah, tenaga kerja dan sebagainya itu kan sesuatu yang bisa diukur. Itu bisa ditempatkan ke dalam perhitungan mereka, visibility mereka. Tapi yang tak bisa diukur adalah perizinan, selesainya kapan, pembebasan lahan," terangnya.
Destry menjelaskan saat ini memang secara keseluruhan aliran dana asing yang masuk masih mencapai Rp 170 triliun. Tapi kebanyakan masuk ke pasar saham dan obligasi. Sementara ekonomi RI saat ini lebih butuh investasi asing langsung atau Foreign Direct Investment (FDI) memang
"Akan lebih bagus jika ini diimbangi masuknya FDI yang lebih besar," tutupnya.Darmin Nasution
Banyak Aturan Tak Penting
|
Menko Perekonomian Darmin Nasution/Foto: Puti Aini Yasmin
|
"Belakangan muncul (aturan) yang sebenarnya tadinya nggak ada toh nggak ada gunanya sebetulnya, sehingga ya itu semua akan dihilangkan," kata Darmin di kantornya, Jakarta, Jumat (6/9/2019).
Pemerintah saat ini sedang mengidentifikasi aturan apa saja yang menghambat. Bukan sekedar yang berbentuk perizinan, menurutnya rekomendasi-rekomendasi untuk investor pun juga ada yang menghambat.
"Apa saja yang membuat lambat. Jadi ya bisa saja itu cuma rekomendasi bukan izin tapi membuat lambat," sebutnya.
Pemerintah memang sudah pernah menyederhanakan regulasi yang ada, tapi itu dirasa belum optimal karena hanya menyederhanakan persyaratan, bukan mencabut aturannya.
"Ya ada yang sudah (dicabut aturannya) tapi kan ada yang belum atau yang kedua, dulu mungkin bukan izinnya yang sudah dihilangkan, (tapi) persyaratannya yang disederhanakan," jelasnya.
Harga Tanah Kawasan Industri Mahal
|
Ilustrasi kawasan industri/Foto: Dikhy Sasra
|
Achmad Sigit menjelaskan, harga tanah di kawasan industri sudah cukup mahal dibandingkan di negara-negara lain. Tak heran, 33 perusahaan yang cabut dari China lebih memilih Vietnam, Malaysia hingga Kamboja.
"Harga tanah di kawasan industri sudah cukup mahal dibandingkan dengan negara-negara pesaing kita. Mereka kan belajar dari pengalaman investor terdahulu di Indonesia," katanya saat diwawancara detikcom, Jumat (6/9/2019).
Tak hanya soal harga, perizinan di bidang tanah ini juga memakan waktu yang sangat lama. Begitu pula regulasi-regulasi lainnya.
"Ya memang masih banyak regulasi di kita yang menghambat investasi, khususnya tentang regulasi di bidang pertanahan yang lama sekali penyelesaiannya," jelasnya.
Faktor berikutnya adalah akses pasar Indonesia yang masih terbatas dibandingkan negara tetangga, misalnya Free Trade Agreement (FTA) alias perjanjian perdagangan bebas dengan Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa.
Halaman 2 dari 4











































