Mirisnya, penelitian yang dilakukan salah satu dari mereka mengambil tempat di Indonesia, yaitu terkait kemiskinan dan sekolah di daerah miskin di Indonesia.
Berbeda dari kebanyakan peneliti yang melihat masalah kemiskinan secara luas, ketiga ekonom ini fokus pada isu-isu yang lebih spesifik seperti edukasi pada masyarakat miskin. Salah satunya adalah bagaimana meningkatkan kinerja sekolah di daerah-daerah miskin.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Utang Luar Negeri BUMN Naik 40% Setahun |
Tapi ternyata, tahukah Anda bahwa Duflo ternyata meneliti soal SD inpres di Indonesia?
SD Inpres merupakan proyek peningkatan kualitas pendidikan dasar di rezim Orde Baru. SD Inpres terbentuk dengan keluarnya instruksi presiden Nomor 10 tahun 1973 tentang Program Bantuan Pembangunan Gedung SD.
SD Inpres ini sering disebut "sekolah kecil" karena disediakan untuk anak-anak masyarakat miskin, di daerah terpencil. Kalaupun di wilayah perkotaan, SD Inpres berada di kawasan dengan penghasilan rendah, sementara di wilayah lebih maju pemerintah membuat SD negeri.
Penelitian ini diterbitkan di Agustus tahun 2000. Dengan judul schooling and labor market consequences of school construction in Indonesia: evidence from an unusual policy experiment (konsekuensi sekolah dan pasar tenaga kerja dari pembangunan sekolah di Indonesia: bukti dari eksperimen kebijakan yang tidak biasa).
Dalam abstraksinya ia menjelaskan penelitian ini berbasis pada realita yang terjadi di Indonesia tahun 1973 dan 1978. Di mana RI membangun lebih dari 61.000 SD.
Ia mengevaluasi efek dari program ini pada pendidikan dan upah. Dengan menggabungkan perbedaan antar daerah dalam jumlah sekolah yang dibangun dengan perbedaan antar kelompok yang disebabkan oleh waktu program.
Dalam risetnya, ia menunjukkan bahwa pembangunan SD Inpres menyebabkan peningkatan pendidikan dan pendapatan. Anak-anak usia 2 hingga 6 tahun di 1974 menerima 0,12 hingga 0,19 tahun lebih banyak pendidikan, untuk setiap sekolah yang dibangun per 1.000 anak di wilayah kelahiran mereka.
Menggunakan variasi sekolah yang dihasilkan oleh SD Inpres ini sebagai variabel instrumental, ke dampak pendidikan pada upah, ia mendapatkan kesimpulan bahwa kebijakan ini sukses 'meningkatkan' ekonomi. Bahkan pengembalian ekonomi sekitar 6,8% hingga 10,6%.
Kebijakan SD Inpres sebenarnya, buah tangan dari teknokrat Widjodjo Nitisastro. Sayangnya meski menelurkan ide SD Inpres, ekonom ini tidak mendapatkan Nobel di bidang ekonomi.
Berita ini bisa dilihat juga di CNBC Indonesia melalui tautan berikut ini: Ekonom AS Pemenang Nobel Ternyata Bahas SD Inpres RI
(zlf/ang)