Dihantui Jebakan Pendapatan Menengah, Ini Saran Buat RI

Dihantui Jebakan Pendapatan Menengah, Ini Saran Buat RI

Fadhly Fauzi Rachman - detikFinance
Kamis, 05 Des 2019 15:30 WIB
Foto: detik
Badung - Indonesia masih berusaha untuk keluar dari jebakan pendapatan kelas menengah atau middle income trap (MIT). Asian Development Bank (ADB) menyebut salah satu cara untuk keluar dari jebakan tersebut ialah dengan memanfaatkan teknologi sendiri.

Dekan Asian Development Bank Institute (ADBI) Naoyuki Yoshino mengatakan negara yang terjebak dalam pendapatan kelas menengah disebabkan oleh ketidakmampuan dalam mengadaptasi teknologi.

Dalam paparannya, Yoshino mencontohkan Thailand sebagai salah satu negara yang baik dalam mengembangkan teknologi, meski teknologi tersebut berasal dari Jepang. Karena itu, Thailand kini masuk dalam negara berpendapatan menengah ke atas.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Negara tersebut memiliki keunggulan kompetitif karena tenaga kerja murah. Jika negara lain (Vietnam) menjadi lebih murah dalam hal tenaga kerja atau biaya produksi, perusahaan sangat mungkin pindah ke Vietnam," kata Yoshino dalam paparannya di Annual International Forum on Economic Development and Public Policy (AIFED), Nusa Dua, Bali Kamis (5/12/2019).

Karena Thailand masih menggunakan teknologi dari negara lain, kata Yoshino, maka sewaktu-waktu Thailand bisa kembali terjebak sebagai negara berpendapatan menengah bila Jepang beralih ke negara lain yang lebih potensial.

"Jika Jepang pindah dari Thailand ke Vietnam, Thailand akan terjebak dalam jebakan berpendapatan menengah. Oleh karena itu, untuk menghindari hal ini, Thailand harus membangun teknologinya sendiri, dan mengandalkan pertumbuhan endogennya untuk bergerak maju," katanya.



Sedangkan untuk Indonesia, kata Yoshino, teknologi yang digunakan di sektor industri masih diadopsi atau dimiliki negara lain. Hal itu dinilai kurang baik untuk ekonomi jangka panjang.

"Seperti yang disebutkan sebelumnya, industri dan investor tetap bertahan ketika iklim investasi menguntungkan bagi negara-negara investor. Ketika biaya tenaga kerja atau produksi lebih murah di negara lain, perusahaan pindah ke sana dan membawa teknologi itu bersama mereka," kata Yoshino.

"Jika Indonesia tidak bisa membangun teknologinya sendiri, negara itu akan terjebak dalam jebakan berpendapatan menengah," sambungnya.

Sementara itu, Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengakui, Indonesia menjadi negara yang paling rendah dalam belanja penelitian dan pengembangan (RnD). Untuk itu, saat ini pemerintah berupaya mendorong peningkatan sektor tersebut dengan menyiapkan insentif pengurangan pajak super.

"Indonesia dikenal sebagai negara yang sangat sangat low RnD spending, very-very low. Kami kemudian berbicara dengan pemain yang berbeda dan stakeholder yang berbeda. Jika mereka berbicara dengan Menteri Keuangan, dan mereka meminta 'potong pajak', kami beri Anda insentif pajak," katanya.

"Sebagai kebijakan yang kami miliki, kami memberikan deduksi super untuk pengeluaran ketiga, jika perusahaan membelanjakan uang untuk penelitian dan pengembangan, kami akan memberikan pajak pemotongan super 300%" tutupnya.




(fdl/eds)

Hide Ads