Menanggapi itu, Deputi Bidang Koordinasi Kerja Sama Ekonomi Internasional Kementerian Koordinasi Perekonomian, Rizal Affandi Lukman mengatakan pengumuman tersebut tak ada hubungannya dengan GSP. Menurutnya kedua hal itu persoalan yang berbeda.
"Dampaknya adalah bahwa itu tidak ada hubungannya dengan GSP. Dua hal yang terpisah. Saya dapat konfirmasi dari USTR seperti itu. Jadi nggak usah terlalu khawatir dengan berita bahwa itu GSP kita akan stop, nggak," kata Rizal di kantornya, Jakarta Pusat, Senin (24/2/2020).
Rizal menjelaskan, sampai saat ini pembahasan soal GSP masih positif. Dikatakan Rizal, pihak USTR akan mendatangi Indonesia pada 8 Maret 2020 mendatang untuk membahas soal keberlanjutan GSP.
"Nggak usah cemas kan kita sekarang dengan USTR masih dalam pembahasan untuk finalisasi. Kalau saya lihat dampaknya sejauh ini untuk pembahasan GSP positif. Mudah-mudahan segera akan diumumkan. Nanti tanggal 8 (Maret) akan ada timnya datang," sebutnya.
Meskipun tak ada hubungannya dengan GSP, Rizal mengatakan status Indonesia sebagai negara maju bisa berpengaruh kepada tambahan bea masuk yang dikenakan untuk mengimbangi efek dari subsidi yang diberikan oleh negara untuk eksportir (Countervailing Duties/CVDs).
"Itu yang diumumkan adalah kaitannya dengan Countervailing Duties. Artinya itu kebijakan Amerika apakah akan memberikan Countervailing Duties nggak terhadap beberapa negara, jadi bukan dengan GSP," sebutnya.
Untuk itu, Rizal mengatakan pemerintah akan menerapkan sistem kehati-hatian untuk memberikan subsidi terhadap eksportir maupun pelaku industri.
"Tentu selama ini kita menerapkan kehati-hatian jadi setiap pemberian subsidi akan dikaitkan dengan kemungkinan nanti bisa di challenge. Selama ini kan kita sudah menerapkan kehati-hatian," ucapnya.
(dna/dna)