Perjalanan Bisnis PT PANN Sampai Akhirnya Butuh Suntikan Negara Rp 3,7 T

Perjalanan Bisnis PT PANN Sampai Akhirnya Butuh Suntikan Negara Rp 3,7 T

Sylke Febrina Laucereno - detikFinance
Selasa, 25 Feb 2020 13:07 WIB
pt pann
Foto: Sylke Febrina Laucereno/detikcom
Jakarta -

PT PANN (Persero) masuk dalam daftar penerima penyertaan modal negara (PMN) sebesar Rp 3,76 triliun.

Direktur Utama PT PANN Herry Soegiarso Soewandy menjelaskan besaran PMN yang dibutuhkan ini adalah untuk menutupi utang yang sudah ada sejak dulu.

Dia menceritakan pada periode 1994, ada program pemerintah Indonesia dan pemerintah Jerman untuk penyaluran pinjaman dari luar negeri. Goverment to goverment.

"Jadi pinjamanya G to G, dari pemerintah Jerman ke pemerintah Indonesia, baru diteruskan ke PT PANN, tidak langsung itu, bukan berbentuk uang juga. Yaitu dalam bentuk pesawat," kata Herry kepada detikcom, akhir pekan lalu.

Pinjaman ini terdiri dari 10 pesawat berjenis Boeing 737-200 yang dicanangkan sebagai program jetisasi pertama di Indonesia. Nilai pinjaman senilai US$ 99 juta dengan kurs Rp 4.000 saat itu.

Menurut dia, saat itu 10 pesawat ini diperuntukkan untuk maskapai BUMN, yakni Garuda Indonesia. Namun ternyata pesawat tersebut sudah berusia 10 tahun. Saat sampai di Indonesia, Garuda menolak hingga akhirnya pemerintah menempatkan pesawat ini ke maskapai lain.

"Garuda nggak mau, akhirnya pemerintah menempatkan 3 unit di Bouraq, 3 di Merpati, 2 di Mandala dan 2 di Sempati dan Garuda tidak jadi," imbuh dia.

Herry mengaku tidak tahu persis alasan pemerintah saat itu menempatkan pesawat-pesawat ke sejumlah maskapai tersebut. Namun, perusahaan-perusahaan ini akhirnya gagal dan bangkrut. Saat ini masih ada Merpati yang masih di PKPU.

"Pesawat-pesawat itu tidak tahu, trayeknya jelas atau tidak. Sampai akhirnya mereka gagal dan bangkrut. Jadi tidak ada yang melanjutkan bayar cicilan ke PT PANN, jadi kami harus menanggung ke pemerintah. PANN harus tetap bayar, inilah yang mengeruk likuiditas PANN, karena tidak ada hasilnya," ujar dia.

Hingga saat ini pesawat-pesawat tersebut masih ada namun sudah tak layak terbang 3 di hanggar Merpati, 3 di Cengkareng dan 2 di PT Dirgantara Indonesia. Dua unit rusak karena jatuh di Medan dan patah di Malang. "Jadi tinggal 8 itu bisa dibilang dalam kondisi rongsok lah, karena kefungsiannya sudah tidak bagus lagi, tidak layak terbang," ujar dia.

Dari dokumentasi perusahaan, pemerintah saat itu menyewakan pesawat ini dengan nilai US$ 45.000 per bulan, namun kemampuan maskapai hanya US$ 22.500.


Setelah proyek 'menyakitkan' tersebut, PT PANN kembali diminta oleh pemerintah untuk menerima pinjaman lagi dari luar negeri. Kali ini pinjaman G to G antara pemerintah Spanyol dan pemerintah Indonesia untuk kapal ikan.

Saat itu, PT PANN juga tidak menerima pinjaman dalam bentuk tunai. Namun 31 unit kapal ikan Mina Jaya yang masih berbentuk shipset (belum dirakit). "Waktu itu PANN tidak punya kompetensi di kapal ikan. Kami spesialis leasing kapal kargo, atau kapal niaga. Karena ini program pemerintah dan satu-satunya perusahaan pemerintah yang merupakan lembaga pembiayaan saat itu adalah PANN, jadi tetap dijalankan," ujarnya.

Dari 31 unit shipset ini, hanya 14 kapal yang berhasil di rakit dalam tahap pertama. Hal ini karena pada tahap kedua periode 1997-1998 Indonesia mengalami krisis, seluruh suku cadang mengalami kenaikan harga. Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS melemah hingga akhirnya perusahaan perakit tidak mampu melanjutkan lagi kerjanya.

Padahal PT IKI saat itu juga mendapatkan dana US$ 12,6 juta untuk biaya perakitan dari PT PANN. Kemudian BPPT juga mendapat US$ 5 juta untuk transfer teknologi.

Jadi memang yang berkoordinasi di proyek ini ada tiga pihak yang ditunjuk langsung oleh pemerintah. "Hanya 14 kapal yang jadi sampai saat ini, bahan-bahannya masih ada, tapi kalau mau dirakit lagi mungkin sudah tidak layak lagi. Karena sudah sedemikian lama," jelas dia.

Sebanyak 14 kapal ini gagal dijual, karena seluruh harga ditetapkan oleh pemerintah, dan biaya cicilan juga ditetapkan oleh pemerintah. "Disewakan pun tidak ada yang mau, karena harga sewanya terlalu tinggi dengan harga kapal yang terlalu tinggi kami tidak punya kontribusi apa-apa karena penetapannya oleh pemerintah. Kalau sekarang kita bisa menolak karena tidak kompetitif di pasar," ujar dia.

Dia menjelaskan jadi kegagalan dua proyek itu US$ 182 juta ditambah US$ 99 juta. Itulah utang PANN kepada pemerintah. Hal ini terjadi karena likuiditas perusahaan negatif akibat keuntungan dari bisnis inti pembiayaan kapal tidak dapat menutupi kerugian pembiayaan pesawat dan kapal ikan Minajaya yang merupakan penugasan pemerintah.

Herry menjelaskan sejak itu, PANN terus membukukan kerugian akibat pembayaran macet dan konversi kurs. Pada 2006, PANN sempat mengajukan usulan kepada pemerintah karena perusahaan sudah memiliki modal negatif Rp 3 triliun.


"Operasi PANN saat ini tingal menyelesaikan leasing utang yang lama itu," jelas dia. Hingga pada 2012 PANN mengajukan restrukturisasi utang SLA ke pemerintah dan mengusulkan pokok utang dijadikan modal serta bunga dan denda bunga dicicil.

Pengajuan modal negara (PMN) sudah diajukan sejak restrukturisasi pada 2012. Setiap tahun PANN berupaya mengajukan namun terus mendapat penolakan. Hingga pada 2019 pemerintah menyetujui PANN untuk masuk dalam daftar BUMN yang mendapatkan PMN.

"Kami ajukan sudah sejak 2012, bukan tiba-tiba kami datang minta PMN. Dulu setiap tahun ditolak, hingga kami pelajari apa yang kurang dan akhirnya disetujui untuk PMN 2020 ini," ujarnya.

Dia menjelaskan PMN ini berbentuk non tunai, dan PMN untuk status penggantian buku saja. "Jadi tidak ada uang sepeserpun, dengan PMN ini buku keuangan kami akan menjadi positif, tidak ada uang PMN yang digunakan untuk bayar gaji pegawai," imbuh dia.

Mengutip buku nota keuangan dan APBN 2020 PMN untuk PT PANN memang diberikan dalam bentuk konversi dari pokok utang pinjaman kepada BUMN tahun 1993-1994, untuk menjadi modal.


PMN juga bertujuan untuk memperbaiki struktur permodalan dan rasio utang. Sehingga nantinya PT PANN dan anak usaha bisa menjadi bankable dan mendukung kinerja keuangan dan operasional yang optimal dan melanjutkan kegiatan usaha di bidang pembiayaan maritim dan lini bisnis yang lain.

Berdasarkan surat yang dikeluarkan Menteri Keuangan No S-537/MK.05/2019 tentang Persetujuan Penyelesaian Piutang Negara pada PT Pengembangan Armada Niaga Nasional (Persero) telah disetujui penambahan PMN Non Tunai dari Konversi Pokok Utang SLA pada PT PANN Rp 3,76 triliun melalui UU No 20 tahun 2019 tentang APBN 2020.



Simak Video "Video Tanggapan Pimpinan MPR Soal UU BUMN Baru: Bukan Berarti Kebal Hukum"
[Gambas:Video 20detik]

Hide Ads