Pengusaha angkutan darat ikut terpukul di tengah serangan virus corona (COVID-19). Meski pemerintah tidak melarang mudik, namun imbas serangan corona tetap terasa karena jumlah penumpang tentu tidak seperti biasanya.
Belum lagi mereka harus menambah biaya ekstra untuk menjaga keamanan bus maupun para awak agar tidak terkena corona. Oleh sebab itu, pemerintah diminta bisa memberikan insentif ke sektor transportasi darat, baik itu untuk para pelaku usaha, maupun sopir, dan kernet.
Sekjen Organisasi Angkutan Darat (Organda) Ateng Aryono mengatakan, dibutuhkan insentif dari pemerintah seperti relaksasi pembayaran pokok dan bunga kredit dari perbankan dan perusahaan leasing. Sedangkan bagi para sopir dan kernet diharapkan bisa dapat BLT.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami sudah sampaikan termasuk BLT kepada awak kami, kami tidak bisa katakan jumlah, tapi tolong dengan kewajaran, misalnya imbauan yang di Jakarta untuk tetap tinggal maka penuhi kebutuhan untuk hajat hidup mereka," ujar Ateng kepada detikcom, Sabtu (4/4/2020).
Organda, kata Ateng mengaku dilema dalam menjalankan bisnisnya di tengah penyebaran virus corona. Apalagi pemerintah memutuskan tidak melarang para perantau untuk mudik Lebaran.
"Ini memang suasananya dilematis, karena satu sisi kita tidak ingin seluruh armada kita menjadi mata rantai penularan. Satu sisi pada kenyataannya kalau kita tidak bekerja maka teman-teman akan terbebani, baik itu pengemudi, kondektur, kernet, supporting, kalau mereka tidak bekerja maka tidak mendapatkan sesuatu," kata Ateng kepada detikcom, Jakarta, Sabtu (04/04/2020).
Selain itu perusahaan penyelenggara angkutan juga harus menjalankan roda kegiatan, apalagi bagi yang mempunyai pinjaman bank maupun cicilan ke leasing.
Meski demikian, Ateng mengatakan tarif bus saat musim mudik Lebaran tahun ini akan berada di koridor batas atas. Menurutnya mudik Lebaran tahun ini berbeda dengan periode sebelumnya, apalagi okupansi dalam satu bus dikurangi hampir setengahnya karena penerapan physical distancing.
"Logikanya adalah ketika perhitungan itu ketika okupansi diturunkan maka biaya atau return dari itu butuh yang lebih tinggi, wajar kalau tarif akan lebih tinggi. Tapi kalau kita lakukan itu tidak tega melakukannya," kata Ateng.
"Karena kita ada batasan tarif batas atas batas bawah, kalau selama tarif kita ada di koridor itu tidak melanggar dan wajar melakukan, tapi kalau menaikkan pun saya pikir kasihan masyarakat pengguna," tambahnya.
(hek/eds)