Pemerintah memutuskan untuk melebarkan defisit anggaran hingga 5,07% dari batas yang sebelumnya sebesar 3% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Pelebaran defisit sebagai konsekuensi pemerintah dalam menanggulangi virus Corona (COVID-19).
Pemerintah baru-baru ini menyediakan anggaran Rp 405,1 triliun untuk menanggulangi virus Corona yang menyerang Indonesia. Jika dihitung anggaran tersebut setara 2,5% terhadap PDB.
Dalam laporan Center of Reform Economics (CORE) Indonesia disebutkan ada empat risiko yang harus dihadapi pemerintah atas kebijakan pelebaran defisit.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Besarnya stimulus menyiratkan pelebaran defisit sekaligus juga besarnya kebutuhan pembiayaan yang harus dilakukan pemerintah. CORE Indonesia memandang setidaknya ada empat potensi risiko yang perlu diperhatikan pemerintah akibat rencana pelebaran defisit dan pembiayaannya hingga tahun 2022," kata Direktur Riset CORE Indonesia, Piter Abdullah Redjalam, Jakarta, Kamis (9/4/2020).
Baca juga: Surat Utang Pemerintah Bisa Diborong Asing |
Risiko yang pertama, dominasi kepemilikan asing pada surat utang pemerintah. Menurut Piter, dengan melebarnya defisit anggaran tentunya akan mendorong pemerintah untuk menerbitkan surat utang negara (SUN) sebagai salah satu sumber pembiayaan defisit yang semakin besar.
Sayangnya penerbitan SUN masih sangat bergantung pada investor asing. Sekitar 35-40% SUN yang diterbitkan pemerintah dipegang oleh investor asing. Angka ini relatif besar jika dibandingkan dengan negara-negara peer seperti Thailand, Malaysia, ataupun Tiongkok.
Kedua adalah risiko pelemahan nilai tukar. Menurut Piter, tingginya kepemilikan asing pada surat utang pemerintah juga meningkatkan risiko sudden capital outflow atau pelarian modal secara tiba-tiba yang akan mendorong pelemahan nilai tukar.
Selama Januari sampai dengan akhir Maret rupiah melemah sebesar 17,4%. Pelemahan ini salah satunya disebabkan oleh aliran modal keluar yang terjadi di pasar keuangan.
"Jika dibandingkan dengan negara lain, pelemahan nilai tukar Rupiah merupakan salah satu pelemahan mata uang terdalam di dunia," katanya.
Ketiga adalah risiko crowding out. Hal ini bisa terjadi karena pelebaran defisit anggaran akan menyerap banyak likuiditas dari perbankan. Dampaknya, swasta akan semakin kesulitan mencari sumber pembiayaan dari dalam negeri.
"Kalaupun mereka mencari sumber pembiayaan dari dalam negeri melalui penerbitan surat utang (obligasi), mereka harus menawarkan surat utang dengan imbal hasil yang lebih tinggi untuk bersaing dengan surat utang yang diterbitkan oleh pemerintah," ujarnya.
Keempat adalah risiko peningkatan utang luar negeri swasta. Piter menyatakan jika pihak swasta kesulitan mencari sumber pembiayaan dari dalam negeri maka opsi utang luar negeri menjadi pilihan yang lebih menarik, terutama ketika suku bunga di luar negeri cenderung menurun.
Peningkatan utang luar negeri swasta perlu menjadi perhatian karena 89% utang luar negeri swasta berdenominasi dolar Amerika Serikat (AS) dan rentan terhadap fluktuasi nilai tukar. Risiko bertambah bagi swasta yang menjual barang dan jasa yang terkait komoditas. Potensi pelemahan harga komoditas bisa berdampak terhadap memburuknya cash flow perusahaan dan berpotensi meningkatkan risiko gagal bayar.
"Faktanya pertumbuhan utang luar negeri swasta yang bergerak di sektor komoditas lebih tinggi dibandingkan sektor-sektor lain seperti manufaktur ataupun keuangan," ungkapnya.
(hek/das)