Pemerintah sudah menyiapkan berbagai stimulus ekonomi demi menangani krisis akibat virus Corona (COVID-19) di Indonesia. Akan tetapi, masih banyak masyarakat yang tak merasakan bantuan-bantuan yang disiapkan tersebut terutama masyarakat kalangan menengah yang dianggap cukup mampu bertahan di tengah himpitan COVID-19. Padahal banyak juga masyarakat kelas menengah yang gajinya dipotong, namun tetap memiliki kewajiban dan kebutuhan yang wajib dibiayai.
Salah satunya seperti yang dialami Susanti, seorang pegawai ritel yang mengaku kini telah dipotong gajinya hingga 50% oleh perusahaan tempatnya bekerja. Ia mulai merasa waswas, sebab dengan setengah gaji yang dia miliki tak cukup memenuhi kebutuhan bulanan ditambah utang cicilan dan tempat tinggal yang tidak sedikit.
"Saya termasuk golongan menengah yang awalnya tidak merasakan efek ini, sampai akhirnya gaji dipotong 50%. Sayangnya, pemerintah cuma berpusat untuk ojol dengan penundaan kredit, cashback BBM, bantuan tunai dan lain-lain, lama-lama saya rakyat menengah bisa jadi rakyat miskin, karena untuk cicilan aja kami harus mengajukan terlebih dahulu, belum tentu diterima atau tidak," ujar Susanti kepada detikcom, Kamis (16/4/2020).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bantuan pemerintah dianggap berat sebelah dan dianggap tak merata kepada seluruh masyarakat. Lalu, apakah memang benar bantuan pemerintah selama ini masih kurang memadai dan kurang tepat sasaran?
Menurut Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara memang bantuan yang digelontorkan pemerintah saat ini masih terlalu kecil. Sehingga, tentu tidak bisa menyentuh seluruh lapisan masyarakat. Terbatas hanya untuk mereka yang memang sudah terkategori miskin.
"Jumlah stimulus khususnya untuk pekerja itu terlalu kecil. Dari total Rp 405 triliun dan Rp 110 triliun bantuan sosial, sebagian besar hanya menyentuh masyarakat yang memang sebelumnya sudah masuk kategori miskin," kata Bhima kepada detikcom.
Padahal, banyak masyarakat yang menjadi korban PHK atau yang dipotong gajinya oleh perusahaan tergolong masyarakat menengah, yang jelas-jelas tak bakal kebagian program bantuan sosial itu. Meskipun pemerintah telah menyiapkan program Kartu Pra Kerja untuk korban PHK dianggap sudah terlambat.
"Agak terlambat pemerintah melakukan permintaan data korban PHK ke perusahaan, baru akhir Maret lalu," sambungnya.
Selain itu, meski sebenarnya pemerintah telah mengantisipasi nasib pekerja lewat insentif kepada perusahaan, hal itu justru tak memadai. Sebab terkesan berat sebelah kepada perusahaan tapi tak menjamin nasib pekerja di sana. Pekerja tetap menjadi korban.
"Kemudian ada keberpihakan yang timpang antara korporasi dan pekerja yang di PHK. Pengusaha kakap akan mendapatkan banyak keuntungan salah satunya insentif penurunan PPh Badan bertahap hingga 17%, sementara tidak tercantum solusi untuk korban PHK, kecuali kartu pra kerja yang juga sama sekali tidak tepat sasaran," tutupnya.
(ara/ara)