"Sekitar 40% angkatan kerja kita bekerja di sektor formal, artinya 60% angkatan kerja kita bekerja di informal. Harusnya kan kebalikannya, sektor informal ini seharusnya lebih kecil dari sektor formal," ujar Yose dalam konferensi pers virtual, Jumat (16/4/2020).
Menurutnya, hal tersebut membuktikan bahwa tantangan ketenagakerjaan di Indonesia memang sebegitu rumitnya hingga pembedahan di skala regulasi soal permasalahan ini sangat dibutuhkan.
"Adanya fakta menciptakan lapangan kerja yang berkualitas di Indonesia ini bukan hanya susah tapi makin lama makin susah. Jadi bukan hanya karena sulit. Kalau sulit namun kemudian makin lama makin baik itu tidak apa-apa, bagus, paling tidak ada kemajuan tetapi ini kita bisa lihat bahwa sudah sulit makin lama makin sulit," katanya.
Lalu, apa yang membuat jumlah pekerja di sektor informal masih sangat dominan ketimbang di sektor formal?
Menurut Yose, alasan mendasar terjadinya kesenjangan jumlah pekerja di kedua sektor tersebut adalah karena memang permintaan di sektor formal sendiri yang masih minim dibanding sektor informal.
"Pelamarnya banyak ke sektor formal tetapi kemudian ketersediaan lapangan kerjanya kurang. Permintaannya yang kurang. Jadi bukan karena pelamar ke sektor formal itu sedikit," sambungnya.
Permintaan di sektor formal minim lantaran lapangan kerja yang dibuka juga terbatas. Sehingga mau tidak mau calon pekerja pada beralih kepada sektor informal demi bertahan hidup.
"Itu saya pikir semara-mata karena memang tidak tersedia lapangan kerja yang cukup di sektor formal. Seperti tadi kita lihat pencari kerja itu kebanyakan inginnya jadi pegawai negeri (PNS) atau pegawai BUMN atau swasta tentunya. Mereka gaakan mau menjadi misalnya buka warung atau juga menjadi ojek online itu kan artinya pelamarnya banyak ke sektor formal. Tetapi sayangnya yang sektor formalnya makin sulit untuk dimasuki," pungkasnya.
(dna/dna)