Ngerinya Hiperinflasi, Jangan Bermewah-mewahan di Lebaran Tahun Ini

Round-Up 5 Berita Terpopuler

Ngerinya Hiperinflasi, Jangan Bermewah-mewahan di Lebaran Tahun Ini

Herdi Alif Al Hikam - detikFinance
Minggu, 10 Mei 2020 21:00 WIB
Poster
Foto: Edi Wahyono
Jakarta -

Untuk menutupi kebutuhan anggaran yang membengkak dalam penanganan wabah COVID-19, Badan Anggaran DPR RI menyarankan Bank Indonesia (BI) mencetak uang Rp 400-600 triliun.

Hal ini dinilai bisa memicu terjadinya hiperinflasi berupa jatuhnya nilai uang. Hal itu pernah terjadi di salah satu negara Afrika, Zimbabwe.

Karena terlalu banyak uang beredar, nilai uang jadi turun bahkan jadi tak berharga. Saking tak berharganya, butuh sampai 30 juta dolar Zimbabwe untuk membeli sosis yang semula harganya hanya dari sebelumnya hanya 379 dolar Zimbabwe.

Informasi itu jadi yang terpopuler di detikFinance sepanjang hari ini. Selain informasi tersebut, ada juga berita-berita terpopuler lainnya seperti tips mengatur keuangan bila tunjangan hari raya tak cair hingga penyebab rendahnya pertumbuhan ekonomi RI sejak pandemi viru Corona terjadi di Indonesia.

Berikut selengkapnya:


Ngerinya Hiper Inflasi

Sebenarnya Indonesia pernah melakukan cetak uang pada periode 1957-1965. Saat itu Indonesia sedang membutuhkan dana besar untuk berbagai kebutuhan seperti pos prioritas politik yang digunakan untuk operasi keamanan, subsidi BUMN dan swasta. Dampaknya terjadi hiperinflasi.

"Bahkan pada menilik pada sejarah Indonesia di medio tahun 1960-an kebijakan mencetak uang dan juga kondisi politik pada saat itu yang tidak stabil bermuara pada hiperinflasi, atau tingkat inflasi yang berada di atas 100%," Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet.

Yusuf menjelaskan hiperinflasi merupakan laju inflasi yang sangat tinggi. Biasanya di kisaran 100% bahkan lebih. Itu artinya kenaikan harga barang rata-rata bisa mencapai 100% lebih.

"Sebagai ilustrasi pada tahun 1966, terjadi kenaikan harga hingga 635%, dengan kenaikan ini, misal harga barang pokok Rp 100 rupiah kenaikan inflasi di atas meningkatkan harga hingga menjadi Rp 735," terangnya.

Dia memberikan contoh sederhana lainnya, Zimbabwe pernah mencetak uang dan dampaknya terjadi hiperinflasi sebesar 7,9 miliar%. Hal itu menyebabkan harga sosis meningkat menjadi 30 juta dolar Zimbabwe dari sebelumnya hanya mencapai 379 dolar Zimbabwe.

Balada PHK, Daya Beli Lesu, Ekonomi Melambat

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet mengungkap ada 3 faktor yang saling terikat dan mendorong terjadinya perlambatan ekonomi. Tiga Faktor itu adalah pertumbuhan ekonomi itu sendiri, daya beli masyarakat dan terakhir adalah pemutusan hubungan kerja (PHK).

"Sebabnya itu bisa beragam untuk pertumbuhan ekonomi kuartal I yang cuma 2% itu salah satunya disebabkan karena melambat pertumbuhan konsumsi rumah tangga dari 5% di kuartal I-2019 menjadi 2% di Q1-2020," terangnya kepada detikcom, Minggu (10/5/2020).

Daya beli atau tingkat konsumsi rumah tangga memang memiliki kontribusi besar terhadap pembentukan ekonomi tanah air, kontribusinya sekitar 56%. Konsumsi rumah tangga sendiri hanya tumbuh di level 2,84% dibandingkan kuartal I-2019 yang sebesar 5,02%.

"Lalu kenapa pertumbuhan konsumsi bisa melambat ya salah satunya karena daya beli masyarakat berkurang, sehingga keinginan untuk melakukan konsumsi tidak seantusias tahun lalu," tambahnya.

Pertumbuhan ekonomi yang melambat juga terjadi karena berkurangnya permintaan barang dan jasa. Beberapa industri pun terdampak yang kemudian melakukan PHK. Ujungnya daya beli kembali menurun.

"Dampak PHK inilah yang berdampak pada rumah tangga, pendapatan mereka tergerus," tuturnya.

'Haram' Bermewah-mewahan di Lebaran Tahun Ini

Menurut perencana keuangan dari Advisors Alliance Group Indonesia Andy Nugroho tanpa THR dia menyarankan jangan terlalu bermewah-mewahan dalam merayakan Lebaran. Dia menegaskan pengeluaran harus difokuskan untuk kebutuhan pokok, makanan sehat, suplemen, dan kuota internet.

"Mengaturnya bagaimana, menurut saya Lebaran tahun ini lebih baik menahan diri dari bermewah-mewahan dulu. Prioritas utama ya tetap pada makanan sehat dan suplemen, serta kuota internet karena banyak ini kegiatan lebaran pakai gadget," papar Andy kepada detikcom, Minggu (10/5/2020).
Baca juga: 3 Pengeluaran Lebaran yang Wajib Dicoret Kalau THR Nggak Cair

Dia menegaskan, saat Lebaran tidak usah banyak belanja. Dia mencontohkan untuk kebutuhan makanan dan kue lebaran misalnya, lebih baik tidak berlebihan.

"Daripada belanja macam-macam, mending kita penuhi kebutuhan utama saja. Kalau kita beli kue dan makanan ya cukup keluarga kecil di rumah aja, tidak berlebihan," jelas Andy.

Andy justru menilai dalam merayakan Lebaran tahun ini baik ada THR maupun tidak ada, bahkan gaji dipotong sekalipun harusnya tidak ada masalah keuangan terjadi. Pasalnya, Lebaran tahun ini pun tidak akan seramai tahun lalu.

"Seharusnya, nggak ada isu ya karena walaupun THR ditunda dan beberapa orang gajinya dipotong, karena Lebarannya juga cukup di rumah aja jadi harusnya nggak banyak pengeluaran," kata Andy.


Hide Ads