Ini Kata Petani soal Cetak Sawah Buat Tangkal Krisis Pangan

Ini Kata Petani soal Cetak Sawah Buat Tangkal Krisis Pangan

Soraya Novika - detikFinance
Selasa, 12 Mei 2020 15:05 WIB
Foto aerial sejumlah petani menanam padi di areal persahawan Desa Pesarean, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Jumat (10/1/2020). Kementerian Pertanian menargetkan cetak sawah baru naik dari 6.000 hektar pada 2019 menjadi 10.000 hektare pada 2020 dengan mengalokasikan anggaran sebesar Rp200 miliar untuk merealisasikan cetak sawah.  ANTARA FOTO/Oky Lukmansyah/ama.
Foto: ANTARA FOTO/Oky Lukmansyah
Jakarta -

Baru-baru ini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) dikabarkan sedang mengincar lahan calon ibu kota baru di Kalimantan untuk menjalankan program percetakan sawah baru guna tangkal krisis pangan.

Sebagaimana diprediksikan oleh Organisasi Pangan Dunia (Food Agriculture Organization/FAO), pandemi COVID-19 berisiko menyebabkan krisis pangan. Ditambah lagi, dalam waktu dekat akan terjadi musim kemarau di beberapa negara, terutama yang berada di sekitar garis khatulistiwa seperti Indonesia.

Lalu, tepatkah program percetakan sawah tersebut mencegah yang namanya krisis pangan terjadi?

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih program tersebut belum dibutuhkan oleh para petani sebab masih banyak alternatif lain yang lebih efektif bila dioptimalkan.

"Sebenarnya di tengah krisis pangan ini yang paling cepat dilakukan bukanlah mencetak sawah," kata Henry kepada detikcom, Selasa (12/5/2020).

ADVERTISEMENT

Henry mengatakan pemerintah tidak harus terpaku pada pencetakan sawah baru sebagai upaya mengantisipasi krisis pangan. Menurutnya yang paling tepat sebenarnya bisa dengan upaya memaksimalkan tanaman pangan di tanah pertanian yang sudah ada, termasuk juga diversifikasi pangan.

"Bisa dengan menggerakkan upaya menanam di sawah yang sudah ada, juga menanam padi di wilayah non-persawahan (padi gogo) dan juga mendorong diversifikasi pangan karena masyarakat Indonesia tidak hanya mengenal padi sebagai sumber pangan utama, terdapat umbi-umbian sebagai bahan pangan utama," sambungnya.

Selain itu, rencana Kementerian ATR/BPN terkait meredistribusi Hak Guna Usaha (HGU) yang habis dan tanah terlantar sebagai lahan pertanian, dianggap Henry sudah pas sebagai antisipasi krisis pangan. Menurutnya kebijakan tersebut harus diselaraskan dengan program reforma agraria yang menjadi prioritas dari pemerintahan saat ini.

"Pada dasarnya tanah-tanah perkebunan yang HGU-nya telah habis, akan habis atau diterlantarkan itu masuk dalam Tanah Objek Reforma Agraria (TORA). Oleh karena itu, kita (SPI) siap mendukung Kementerian ATR/BPN dan berkoordinasi mengenai dimana-mana saja tanah yang diidentifikasi sudah atau akan habis HGU-nya," imbuhnya.




(fdl/fdl)

Hide Ads