Resesi adalah situasi yang terjadi ketika produk domestik bruto (PDB) atau pertumbuhan ekonomi suatu negara negatif selama dua kuartal berturut-turut.
Jadi gini, misalnya di kuartal 1 ekonomi negatif, dan berlanjut negatif lagi di kuartal II maka negara itu resmi masuk resesi.
Jika dalam kuartal berikutnya ekonomi tetap negatif, maka resesi berlanjut. Sebuah negara berhasil keluar dari resesi ketika ekonominya sudah bisa tumbuh positif lagi.
Nah, Indonesia sudah hampir masuk ke resesi nih. Pasalnya, di kuartal II-2020, ekonomi Indonesia minus -5,32% dibandingkan posisi yang sama tahun lalu.
Jika di kuartal III-2020 ekonomi kembali minus, maka Indonesia resmi masuk resesi. Mudah-mudahan pemerintah bisa membuat gebrakan selama tiga bulan ke depan supaya resesi tidak terjadi.
1. Resesi beda dengan krisis dan depresi
Jangan sampai salah mengerti, resesi ekonomi beda dengan krisis, apalagi dengan depresi ekonomi. Krisis adalah keadaan yang mengacu pada penurunan kondisi ekonomi drastis yang terjadi di sebuah negara.
Penyebab krisis ekonomi adalah fundamental ekonomi yang rapuh antara lain tercermin dari laju inflasi tinggi dan pertumbuhan ekonomi yang macet.
Penyebabnya juga dikarenakan beban utang luar negeri yang melimpah dan melebihi kemampuan bayar, investasi yang tidak efisien, defisit neraca pembayaran yang besar dan tidak terkontrol.
Gejala krisis ekonomi biasanya didahului oleh penurunan kemampuan belanja pemerintah, jumlah pengangguran melebihi 50% dari jumlah tenaga kerja, penurunan konsumsi atau daya beli rendah, kenaikan harga bahan pokok yang tidak terbendung, penurunan pertumbuhan ekonomi yang berlangsung drastis dan tajam, dan penurunan nilai tukar yang tajam dan tidak terkontrol.
Sedangkan depresi ekonomi, sebenarnya tidak ada definisi standar tentang perbedaan antara resesi dengan depresi. Tapi, depresi ekonomi biasanya lebih parah dalam hal besarnya dan lamanya kontraksi ekonomi.
Mengutip Fortune, terdapat perbedaan yang jelas dalam penurunan PDB dan jangka waktu krisis antara resesi dengan depresi.
Dalam resesi, penurunan PDB berada di kisaran -0,3% hingga -5,1%. Di Amerika Serikat (AS) contohnya, penurunan PDB paling parah (-5,1%) terjadi lebih dari sepuluh tahun lalu yaitu pada Desember 2007-Juni 2009. Untuk penurunan PDB paling rendah berada di -0,3% terjadi pada Maret-November 2001.
Sedangkan dalam istilah depresi, penurunan PDB berada di kisaran -14,7% hingga -38,1%. Penurunan PDB terburuk di AS (-38,1%) terjadi pada Januari 1920- Januari 1921. Untuk penurunan PDB paling rendah berada di -14,7% terjadi pada Januari 1910-Januari 1912. Secara sekilas, nampak bila penurunan PDB pada depresi ekonomi jauh lebih buruk daripada resesi.
Selain perbedaan besar penurunan PDB, jangka waktu krisis juga menentukan perbedaan antara resesi dengan depresi. Pada resesi, jangka waktu atau lamanya krisis berlangsung selama 6-18 bulan. Sedangkan untuk depresi, lamanya krisis berlangsung antara 18-43 bulan. Dengan kata lain, depresi ekonomi merupakan kondisi yang jauh lebih parah dari resesi.
Lanjut ke halaman berikutnya
2. Penghasilan akan terganggu, PHK juga pasti terjadi
Lalu jika benar Indonesia mengalami resesi ekonomi, bagaimana dampaknya ke rakyat?
Ekonom Senior INDEF Aviliani mengungkapkan resesi bukanlah akhir dari segalanya, resesi terjadi karena pertumbuhan ekonomi selama dua kuartal berturut-turut minus.
"Itu bukan seolah dunia ini kiamat kalau resesi. Ciri-cirinya apabila dua kuartal berturut-turut negatif itu resesi. Nah kalau dua kuartal negatif ini banyak perusahaan yang harus mengefisienkan biayanya karena itu harus PHK orang," kata Aviliani dalam Webinar Duta Bangsa, Sabtu (8/8/2020).
Selain itu penghasilan orang akan terganggu karena perusahaan melakukan PHK atau pemangkasan gaji. Oleh karena itu masyarakat diminta bersiap-siap jika kena PHK, bagaimana mengatur keuangan, paling tidak jika kondisi membaik baru bisa hidup layak lagi.
Jika usahawan maka harus memutar otak, selain efisiensi apalagi usaha yang harus dilakukan. Menurut Aviliani jika memang terjadi resesi jangan diam saja dan menunggu waktu.
Lanjut ke halaman berikutnya
3. Ini yang bisa kita lakukan
Masyarakat harus berhemat mulai dari sekarang untuk menyiapkan dana darurat selama resesi. Sebab tidak ada yang mengetahui akan berlangsung sampai kapan jika resesi benar terjadi.
"Kurangi juga belanja yang tidak sesuai kebutuhan dan fokus pada pangan serta kebutuhan kesehatan. Jadi jangan latah ikut gaya hidup yang boros. Pandemi mengajarkan kita apa yang bisa dihemat ternyata membuat daya tahan keuangan personal lebih kuat," kata Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira kepada detikcom, Jumat (17/7/2020).
Perencana Keuangan Zelts Consulting Ahmad Gozali mengatakan, masyarakat bisa mulai menyiapkan dana cadangan agar tahan banting dari efek resesi tersebut. Besaran dana cadangan yang disiapkan jumlahnya bisa 3-12 bulan pengeluaran bulanan mereka.
Misal, pengeluaran bulanan 1 keluarga adalah sebesar Rp 5 juta dikali 12 bulan, maka setiap keluarga minimal harus punya dana cadangan sebesar Rp 60 juta untuk bertahan hidup sampai 1 tahun kemudian. Tujuannya tentu untuk jaga-jaga apabila terjadi badai PHK atau pemotongan gaji mendadak.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah menyarankan masyarakat jangan boros dan harus mempersiapkan kondisi terburuk untuk mencukupi keuangan.
"Tetap harus berjaga-jaga mempersiapkan kondisi terburuk yaitu apabila resesi ini berkepanjangan. Ini perlu stamina yang kuat termasuk juga tabungan yang cukup. Jangan Boros," ucapnya.
Selain mempersiapkan tabungan yang banyak, masyarakat juga disarankan agar menjaga kesehatan agar resesi tidak berkepanjangan. Sebab resesi terjadi disebabkan oleh virus mematikan Corona (COVID-19).
"Yang utama tetap menjaga kesehatan. Resesi disebabkan oleh wabah, oleh karena itu solusi utama menghadapi resesi adalah mengakhiri wabah. Apabila wabah berakhir, resesi akan berakhir," tutur Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah.