China meningkatkan kekuatan militernya untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Menurut analis hal itu membuat investor global, investor Amerika Serikat (AS), bahkan perusahaan di China sendiri mengalami dilema saat ingin berinvestasi di negara itu.
Dikutip dari CNBC, Senin (28/9/2020) Pendiri Firma Atlas Organization Jonathan Ward mengatakan ada banyak perusahaan China termasuk yang berada di industri kedirgantaraan, teknologi dan konstruksi kini didukung oleh militer.
Mengetahui hal itu Ward mengungkap kini tidak dapat diketahui seberapa besar kendali pemerintah China atas perusahaan dan seberapa independen bisnis di China.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejak lama China ingin meningkatkan kekuatan militernya. Pengeluaran pertahanan China telah tumbuh dan sekarang lebih besar. Departemen Pertahanan atau Pentagon mengatakan pasukan darat China, serta angkatan laut, udara dan misilnya menjadi terbesar di dunia.
Menurut Laporan Kekuatan Militer China 2020 pada 2019, China mengumumkan anggaran militer tahunannya akan meningkat 6,2%. Peningkatan itu melanjutkan lebih dari 20 tahun peningkatan belanja pertahanan tahunan dan mempertahankan posisinya sebagai pemboros militer terbesar kedua di dunia.
Ward juga menunjukkan bahwa Presiden China Xi Jinping telah memperjelas tujuan negaranya untuk membangun tentara yang kuat yang dapat berperang dan memenangkan perang.
"Kami semakin dekat untuk mewujudkan peremajaan bangsa China, dan kami perlu membangun militer yang kuat lebih dari sebelumnya dalam sejarah," kata Xi saat peringatan berdirinya Tentara Pembebasan Rakyat China.
China juga telah meningkatkan kehadiran militernya di Asia, terutama di Laut China Selatan yang kerap disengketakan.
Hal itu telah menimbulkan kemarahan tetangga seperti Filipina, Taiwan, dan Vietnam termasuk Indonesia yang juga mengklaim bagian dari jalur air tersebut. Mereka pun sependapat dengan AS yang menyebut klaim teritorialChina sepenuhnya melanggar hukum.
Pekan lalu, China meningkatkan latihan militernya di dekat Taiwan. China menganggap Taiwan sebagai bagian dari wilayahnya yang suatu hari harus dipersatukan kembali dengan daratan, dan menentang partisipasi Taiwan dalam diplomasi internasional.
Ward mengungkap apa yang dilakukan China bukan hanya semata-mata meningkatkan militer. Tetapi menjadikan militer mesin penggerak ekonominya. Armada pertempurannya, perusahaan milik China dan yang didukung negara itu.
"Intinya adalah tujuan China untuk dominasi industri, teknologi," kata Ward.
Hal itu tentunya membuat dilema sejumlah investor AS. Ward menambahkan bahwa perusahaan AS perlu memperhatikan keamanan nasional jangka panjang pemerintah AS.
Asia Research Institute di National University of Singapore, Kishore Mahbubani mengatakan salah satu kunci yang menentukan siapa yang menang pada perang dagang antara China dan AS yakni bagaimana negara lain menanggapi persaingan itu.
Mahbubani mengatakan situasi perang dagang AS dan China di situasi berbeda. Kebanyakan negara di dunia sebagian memiliki kesibukan mendesak lainnya. Sangat sedikit dari mereka yang bergegas memilih untuk bergabung dengan China atau AS.
"Tanggapan umum dari sebagian besar negara adalah. bisakah perang dagang ini tidak harus menggagu dunia? Dan tentu saja tidak akan mengganggu dunia saat Covid-19 sedang berlangsung," tambah Mahbubani.
Ward kembali menjelaskan untuk menang melawan China, AS harus tetap menjadi kekuatan ekonomi terdepan di dunia dan perusahaan AS harus memenangkan persaingan global melawan perusahaan China. Sedangkan China penting juga untuk mempertahankan keunggulan militernya.
(zlf/zlf)