Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) bekerja sama dengan Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia (UI) membuat Proyeksi COVID-19 dan Evaluasi PSBB melalui analisis pemodelan. Pemodelan itu dilakukan sebagai bahan kajian yang bisa dipertimbangkan pemerintah dalam menetapkan kebijakan.
Hasil pemodelan itu menemukan bahwa Indonesia, terutama empat provinsi terbesar yakni DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur masih punya pekerjaan rumah (PR) dalam memperbanyak dan menyempurnakan testing, tracing, dan isolasi suspect/pasien COVID-19.
"Jikalau tes, lacak, dan isolasi dilakukan dengan baik, itu bisa menurunkan risiko untuk terinfeksi atau kecepatan epidemi sampai separuhnya. Kalau tes banyak dilakukan tapi acak, dampaknya tidak banyak pada epidemi. Tapi tes dilakukan banyak, dengan diarahkan pada contact tracing itu dampaknya banyak pada epidemi," kata Tim Pemodelan COVID-19 FKM UI Iwan Ariawan dalam webinar Bappenas, Jumat (23/10/2020).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain jumlahnya diperbanyak, PR lainnya ialah mengatur jeda tracing ketika seseorang sudah dinyatakan positif.
"Yang penting jeda pelacakan, itu yang kita nggak tahu di Indonesia. Jeda pelacakan sangat penting, beberapa publikasi ilmiah yang ada mengatakan, kalau jeda pelacakannya 3 hari atau lebih, dampaknya terhadap epidemi kurang ada. Jeda pelacakan itu artinya dari kasus terkonfirmasi, pelacakan harus sudah dimulai kapan? Itu mestinya kurang dari 3 hari," paparnya.
Berdasarkan data yang tersedia, target tes COVID-19 di Tanah Air masih jauh dari target Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO) yaitu 1.000 tes per 1 juta penduduk per minggu.
"Jadi lihat jumlah tes per 1 juta penduduk saat ini atau sampai minggu ke-41 dari data yg ada sudah 703 tes per 1 juta penduduk. Masih di bawah saran WHO," urai Iwan.
Untuk DKI Jakarta, jumlah tes sudah 3 kali lebih tinggi dari target WHO. Hanya saja, tes ini masih perlu difokuskan kepada contact tracing. Apalagi, positivity rate DKI masih 17,3% per awal Oktober 2020.
"Cuma yang perlu dilihat ini, yang dites siapa? Karena tes yang banyak itu hanya efektif untuk contact tracing," jelas Iwan.
Lalu, jumlah tes di Jawa Barat masih sangat jauh dari target WHO, yakni hanya 43%. " Jadi belum tercapai targetnya," ujar Iwan.