Pengertian GSP, Stimulus Dagang dari AS Buat RI

Pengertian GSP, Stimulus Dagang dari AS Buat RI

Vadhia Lidyana - detikFinance
Senin, 09 Nov 2020 14:31 WIB
Terminal Peti Kemas (TPK) Koja terus memberikan layanan terbaiknya bagi para pelanggannya. Kini, dalam mendukung Pelabuhan Tanjung Priok ia memperluas layanan agar bisa melayani pelayaran internasional.
Foto: dok. TPK Koja
Jakarta -

Di awal November 2020 ini, Indonesia dapat kabar gembira dari Amerika Serikat (AS). Pemerintah AS melalui United States Trade Representative (USTR) memperpanjang stimulus perdagangan atau tepatnya fasilitas Generalized System of Preferences (GSP) untuk Indonesia.

Keputusan yang telah dinanti-nantikan Indonesia sejak akhir 2019 itu terwujud tak lama setelah Menteri Luar Negeri (Menlu) Amerika Serikat (AS) Michael Richard 'Mike' Pompeo berkunjung ke Tanah Air dan bertemu Menlu Retno Marsudi serta Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 29 Oktober lalu.

Pada pertemuan itu, Retno sempat menyinggung soal GSP yang kala itu belum jelas apakah diperpanjang atau tidak. Lalu, apa pengertian GSP?

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

GSP adalah stimulus perdagangan yang diberikan AS dalam bentuk fasilitas bebas bea masuk bagi negara-negara kurang berkembang (LDCs) dan negara berkembang, salah satunya Indonesia. Dengan GSP, maka ekspor beberapa produk dari Indonesia ke AS tak dikenakan tarif bea masuk.

Ada 3.572 produk ekspor yang masuk dalam daftar produk bebas bea masuk dalam fasilitas GSP, di antaranya ban mobil, asam lemak, tas tangan dari kulit, aksesoris perhiasan, plywood bambu laminasi, plywood kayu tipis kurang dari 66 mm, bawang bombai kering, sirup gula, madu buatan, karamel, barang rotan khusus untuk kerajinan tangan, dan sebagainya.

ADVERTISEMENT

Namun, berdasarkan keterangan resmi Kementerian Perdagangan (Kemendag) yang diterbitkan pada Oktober 2019 lalu, pemanfaatan tarif preferensi
GSP oleh para pelaku usaha baru sekitar 836 produk dari total 3.572 produk.

Setiap akhir tahun, AS melakukan evaluasi dari jumlah volume dan nilai ekspor produk-produk yang mendapatkan fasilitas GSP. AS akan mencatat
apakah perdagangan dengan Indonesia mengalami defisit atau tidak.

Sehingga, akan ada produk-produk yang tidak bisa lagi mendapatkan GSP jika sudah memiliki daya saing tanpa dihapuskan bea masuknya.

Misalnya saja, pada April-Oktober 2019 lalu, USTR melakukan evaluasi terhadap negara-negara mitra AS seperti Pakistan, Thailand, Brasil, Ekuador, Brasil, dan Indonesia. Menurut Menteri Perdagangan Agus Suparmanto, AS melakukan penilaian terhadap enam produk ekspor asal Indonesia.

Dari keenam produk tersebut, hanya produk asam stearat (HS 38231100) yang tidak lagi mendapatkan tarif preferensi. Hal ini dikarenakan nilai ekspornya telah melebihi batas ketentuan kompetitif (competitive needs limitations/CNL). Artinya, produk asam stearat dinilai sudah sangat berdaya saing dan memiliki pangsa pasar yang sangat baik di AS sehingga tidak perlu lagi mendapatkan perlakuan khusus atau masuk dalam daftar GSP.

Dilansir dari keterangan resmi Kemlu, Senin (9/11/2020), selama tahun 2019, United States International Trade Commission (USITC), mencatat ekspor Indonesia yang menggunakan GSP mencapai US$ 2,61 miliar. Angka ini setara dengan 13,1% dari total ekspor Indonesia ke AS, yakni US$ 20,1 miliar.

Ekspor GSP Indonesia di tahun 2019 berasal dari 729 pos tarif barang dari total 3.572 pos tarif produk yang mendapatkan preferensi tarif GSP.

Hingga Agustus 2020, nilai ekspor GSP Indonesia ke AS tercatat sebesar US$ 1,87 miliar atau naik 10,6% dibandingkan periode sama di tahun sebelumnya. Indonesia saat ini merupakan negara pengekspor GSP terbesar ke-2 di AS setelah Thailand (US$ 2,6 miliar).


Hide Ads