Di awal November 2020 ini, Indonesia dapat kabar gembira dari Amerika Serikat (AS). Pemerintah AS melalui United States Trade Representative (USTR) memperpanjang stimulus perdagangan atau tepatnya fasilitas Generalized System of Preferences (GSP) untuk Indonesia.
Keputusan yang telah dinanti-nantikan Indonesia sejak akhir 2019 itu terwujud tak lama setelah Menteri Luar Negeri (Menlu) Amerika Serikat (AS) Michael Richard 'Mike' Pompeo berkunjung ke Tanah Air dan bertemu Menlu Retno Marsudi serta Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 29 Oktober lalu.
Pada pertemuan itu, Retno sempat menyinggung soal GSP yang kala itu belum jelas apakah diperpanjang atau tidak. Lalu, apa pengertian GSP?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
GSP adalah stimulus perdagangan yang diberikan AS dalam bentuk fasilitas bebas bea masuk bagi negara-negara kurang berkembang (LDCs) dan negara berkembang, salah satunya Indonesia. Dengan GSP, maka ekspor beberapa produk dari Indonesia ke AS tak dikenakan tarif bea masuk.
Ada 3.572 produk ekspor yang masuk dalam daftar produk bebas bea masuk dalam fasilitas GSP, di antaranya ban mobil, asam lemak, tas tangan dari kulit, aksesoris perhiasan, plywood bambu laminasi, plywood kayu tipis kurang dari 66 mm, bawang bombai kering, sirup gula, madu buatan, karamel, barang rotan khusus untuk kerajinan tangan, dan sebagainya.
Namun, berdasarkan keterangan resmi Kementerian Perdagangan (Kemendag) yang diterbitkan pada Oktober 2019 lalu, pemanfaatan tarif preferensi
GSP oleh para pelaku usaha baru sekitar 836 produk dari total 3.572 produk.
Setiap akhir tahun, AS melakukan evaluasi dari jumlah volume dan nilai ekspor produk-produk yang mendapatkan fasilitas GSP. AS akan mencatat
apakah perdagangan dengan Indonesia mengalami defisit atau tidak.
Sehingga, akan ada produk-produk yang tidak bisa lagi mendapatkan GSP jika sudah memiliki daya saing tanpa dihapuskan bea masuknya.