Jakarta -
Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta para menterinya untuk membahas pengurangan libur akhir tahun. Pemerintah berpendapat, libur panjang menyebabkan munculnya klaster-klaster baru penyebaran virus Corona (COVID-19).
Lebih lanjut, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, libur panjang yang diharapkan mendorong perekonomian dari pertumbuhan konsumsi, ternyata pada kenyataannya tak sesuai harapan pemerintah. Ini membuat pemerintah tak ingin 'kebobolan' lagi akan kasus COVID-19 yang meningkat usai libur panjang.
"Seharusnya kalau dalam suasana normal, dengan hari libur, orang aktivitas yang biasanya interaksi dan kemudian terjadilah konsumsi. Tapi yang kita lihat sekarang ini, setiap libur panjang jumlah COVID-19 naik. Tapi indikator ekonomi tidak membaik atau tidak terjadi konsumsi yang diharapkan," ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN Kita edisi November, Senin (23/11/2020).
Terlebih lagi, jumlah hari kerja yang lebih sedikit di Oktober 2020 dan Desember 2020, dibandingkan dengan pada 2019 juga menurunkan aktivitas ekonomi di sektor produksi.
"Pertama kalau dilihat dari data Oktober dengan jumlah hari kerja menurun, konsumsi listrik di bidang bisnis, kemudian manufaktur menurun dan itu menggambarkan berarti dampaknya ke ekonomi di sektor produksi juga menurun, di sektor konsumsi tidak pickup juga," terang Sri Mulyani.
Bagaimana respons pengusaha di sektor pariwisata terkait libur akhir tahun dipangkas?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi Sukamdani mengatakan, pengurangan libur panjang ini akan berdampak pada para pengusaha, terutama yang sudah mempersiapkan beberapa program menarik untuk akhir tahun.
"Ya pastinya berdampak, sebetulnya itu kan pengganti libur Lebaran, otomatis pasti ada dampaknya," ungkap Hariyadi ketika dihubungi
detikcom.
Menurut Hariyadi, pemerintah semestinya mencontoh Turki yang tetap membuka pariwisatanya di tengah pandemi dengan menerapkan protokol kesehatan pencegahan COVID-19 yang ketat.
"Saya selalu bilang coba deh lihat Turki. Nah Turki itu termasuk negara yang membuka pariwisatanya, tapi dia bisa mengendalikan (COVID-19)," ujar Hariyadi.
Menurutnya, upaya membuka-tutup pengetatan kegiatan, termasuk mengurangi libur justru akan mengacaukan kinerja beberapa sektor terkait.
"Kalau kita buka-tutup, buka-tutup terus pengetatan atau PSBB ini, termasuk mengurangi liburan itu kan juga dalam rangka mencegah, nah itu impact-nya akan nggak bagus untuk semuanya. Tak hanya pariwisata, semua kena," tegasnya.
Ia menyarankan agar pemerintah tetap memberi peluang bagi sektor pariwisata bangkit. Namun, hal itu juga dibarengi dengan pengetatan protokol kesehatan, penguatan pelacakan (tracing) dan perawatan pasien COVID-19 (treatment) dari pemerintah.
Hariyadi menegaskan, pemerintah juga harus menekan klaster-klaster di masyarakat yang berisiko tinggi menjadi sumber penyebaran baru COVID-19. Ia bahkan menyinggung peristiwa keramaian di Petamburan, Jakarta Barat (Jakbar) lalu, di mana Pimpinan Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Syihab merayakan pernikahan anaknya, sekaligus menggelar peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW yang melahirkan kerumunan massa.
"Yang jadi masalah kan sekarang banyak klaster-klaster penduduk yang berisiko tinggi sebagai penyebaran tapi nggak pernah dituntaskan. Contohnya itu kawasan padat penduduk, pasar-pasar tradisional tidak disiplin. Terus kemarin klaster Petamburan kayak gitu mesti dituntaskan. Kalau nggak nanti ya nggak akan selesai-selesai, dan itu berat," ucap Hariyadi.
Berbeda dengan Hariyadi, Sekjen Asosiasi Travel Agent Indonesia (Astindo) Pauline Suharno bersikap pasrah alias tidak peduli dengan kemungkinan terjadinya pengurangan libur panjang. Yang lebih penting baginya, pemerintah bisa memberikan stimulus kepada pengusaha agen travel agar bisa menarik pengunjung dengan harga-harga murah.
"Kita sih nggak peduli mau dikurangi atau enggak, sekarang tuh demand-nya nggak ada. Demand-nya bisa di-create kalau memang harganya murah. Kalau tiap minggu dibuat long weekend tapi masyarakat masih belum berani untuk bepergian dan harga tiket pesawat mungkin mahal, ya itu juga sama saja, creating demand-nya itu yang susah," kata Pauline kepada detikcom.
Kalau pun nantinya libur panjang dikurangi, Pauline meyakini hal itu tidak akan mengurungkan niat orang untuk berlibur. Sebab, libur akhir tahun dianggap sudah menjadi rutinitas bagi masyarakat yang suka bepergian.
"Sepertinya ada atau tidaknya cuti bersama tidak mengurangi minat orang berlibur ya kalau year end. Bawaannya seminggu itu kan sudah mood holiday. Mereka pasti akan tetap melakukan perjalanan walaupun itu libur atau enggak, terutama swasta karena dia bisa memanfaatkan jatah cuti yang masih ada," ucapnya.
Lagi pula berdasarkan pengalamannya kemarin, libur panjang disebut tidak terlalu berpengaruh bagi pengusaha agen travel. Pasalnya masyarakat lebih banyak bepergian sendiri bersama keluarga.
"Basically dari kami melihat long weekend memang potensial untuk pertumbuhan pariwisata, cuma pengalaman dari yang sebelumnya, yang dapat order kebanyakan masih hotel dan maskapai karena sekarang ini trend traveller bepergian sendiri. Jadi travel agent terutama teman-teman tour operator di daerah belum terlalu merasakan dampak positif dari long weekend," tandasnya.