Tolak Libur Panjang Dipotong, Pengusaha Hotel: Libur Itu Hidup Kita

Tolak Libur Panjang Dipotong, Pengusaha Hotel: Libur Itu Hidup Kita

Herdi Alif Alhikam - detikFinance
Minggu, 29 Nov 2020 15:30 WIB
ilustrasi kamar hotel
Foto: Thinkstock
Jakarta -

Pengusaha hotel menolak wacana pemotongan hari libur panjang atau cuti bersama akhir tahun. Mereka mengatakan libur panjang adalah satu-satunya momentum untuk menyambung hidup usahanya.

Wakil Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran mengatakan okupansi hotel bisa naik tinggi di tengah pandemi hanya pada saat libur panjang saja.

Dia menilai pengusaha hotel mengandalkan perjalanan liburan masyarakat saat libur panjang untuk bisa bertahan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Okupansi besar kita itu terjadi saat long weekend atau libur panjang. Kalau sebelum pandemi paling besar itu dari business tourism, masa pandemi ini justru kan okupansi mengandalkan leisure di long weekend. Jadi pada masa long weekend itu jadi harapan ya jadi tambahan sedikit kekuatan untuk kita bertahan," ungkap Maulana kepada detikcom, Minggu (29/11/2020).

"Kita memang berbeda dari sektor lain, kalau libur menambah beban buat sektor lain, nah kita ini libur itu ya hidup kita," ujarnya.

ADVERTISEMENT

Dia menjabarkan dari data yang dihimpun pihaknya selama libur panjang pada bulan Oktober lalu saja okupansi hotel naik rata-rata 40%, paling tinggi ada yang menjadi 57%. Padahal di hari biasa, okupansi hotel rata-rata paling mentok di 30%.

"Pada libur Oktober long weekend kemarin itu okupansinya bisa 30-40%, 57% paling maksimal. Sementara di weekdays cuma 20-30%. Nah itu kenaikan tadi yang bisa 20-30%, yang kemungkinan kita nggak bisa dapatkan kalau liburan panjang dipotong," papar Maulana.

Apabila pemerintah tetap memangkas waktu libur panjang, pihaknya hanya bisa pasrah. Yang jelas, cuma efisiensi usaha yang bisa dilakukan pengusaha hotel, salah satunya dengan mengorbankan tenaga kerja.

"Kita ya nggak bisa buat apa-apa lagi, menerima aja. Ya paling kita sekarang tetap melakukan efisiensinya aja, nah korban pertama ya tenaga kerja. Baru kemudian beban lain, listrik dan segala macam," ujar Maulana.

Soal tenaga kerja dia menggambarkan selama ini banyak hotel yang sudah mengurangi hingga 50% lebih tenaga kerjanya. Misalnya, untuk hotel dengan 700 kamar, kondisi biasanya bisa mempekerjakan 500 ribu orang.

Kini di tengah rendahnya okupansi karena pandemi melanda justru membuat 300 ribuan orang harus dikurangi.

"Dalam kondisi sekarang aja selama 9 bulan dampak tenaga kerja sudah jelas. Ini secara gambaran aja ya, misalnya ada 700-an kamar, kurang lebih tenaga kerjanya itu di waktu normal 500-an ribu. Dengan kondisi sekarang okupansi 20-30% itu nggak bisa pakai segitu," papar Maulana.

"Makanya jumlahnya diturunkan sekarang ini, mungkin 300 ribuan orang tidak bekerja lagi di hotel. Sudah hampir 50% lebih kan itu berkurang," lanjutnya.

(zlf/zlf)

Hide Ads