Jakarta -
Harga telur ayam hari ini tembus Rp 30.000 per kilogram (kg) di Pasar Jatinegara, Jakarta Timur. Di sejumlah wilayah, harga telur ayam juga merangkak naik, dengan harga tertinggi Rp 42.100/kg di Provinsi Papua per Jumat (18/12) berdasarkan data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS).
Kementerian Perdagangan (Kemendag) mencatat, sepekan terakhir ini memang ada kenaikan harga telur ayam hingga 8%. Sementara itu, dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 7 Tahun 2020, harga acuan telur ayam di tingkat konsumen hanyalah Rp 24.000/Kg.
"Harga tersebut naik dibanding seminggu dan sebulan lalu, masing-masing sekitar 4% dan 8%. Beberapa daerah yang harganya cukup tinggi terutama daerah yang cukup jauh dari sentra produksi," kata Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kemendag kepada detikcom, Sabtu (19/12/2020).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dihubungi secara terpisah, Kepala Bidang Harga Pangan Badan Ketahanan Pangan, Kementerian Pertanian (Kementan) Inti Pertiwi memproyeksi, harga telur ayam masih terus naik hingga Januari 2021.
"Memang harga itu sekarang di Jabodetabek saja sudah mencapai Rp 30.000/kg di pasar. Berarti di eceran atau warung-warung lebih tinggi lagi. Memang harga telur naik, dan menurut proyeksi kami akan naik terus sampai Januari akhir, baru akan turun sedikit-sedikit," ujar Inti kepada detikcom.
Kenaikan harga telur ayam diproyeksi masih terus berlangsung itu menurutnya disebabkan oleh permintaan dari masyarakat yang sangat tinggi di tengah pandemi virus Corona (COVID-19).
"Kondisi pandemi menaikkan konsumsi telur, naik 0,09 kg per kapita per tahun. Jadi demand meningkat, otomatis harga meningkat," tutur dia.
Berlanjut ke halaman berikutnya.
Ia mengatakan, Kementan tak bisa mengintervensi
harga telur ayam dari sisi produsen atau peternak. Di sisi lain, konsumen sedang mengalami tekanan ekonomi dari pandemi Corona. Oleh sebab itu, untuk mengendalikan harga telur diperlukan kebijakan yang berada di tengah konsumen dan produsen, yakni distribusi.
"Kita bantu produsen mendistribusikan telurnya ke pasar. Atau kalau misalnya harga tidak bisa direm dengan cara yang sudah kita mulai lakukan sekarang, ya harus operasi pasar mau tidak mau. Operasi pasar ini tidak mengganggu produsen. Pemerintah atau pelaku yang ditunjuk pemerintah membeli ke produsen dengan harga jual dari produsen itu, sehingga menguntungkan bagi produsen atau peternak. Tapi, biaya transportasinya yang kita subsidi. Jadi biaya transportasi atau distribusi tidak membebani harga jual," papar Inti.
Kembali ke Syailendra, ia mengatakan kenaikan harga telur ayam juga disebabkan oleh kurangnya pasokan di pasar.
"Menurut informasi dari peternak layer terdapat potensi penurunan pasokan, yang salah satunya merupakan imbas dari harga ayam broiler (pedaging) yang sempat tinggi pada periode sebelumnya yang mengakibatkan sebagian ayam layer (petelur) beralih ikut memasok pasar broiler atau diafkir/kapasitas ayam ras petelur berkurang. Sehingga berdampak pada berkurangnya pasokan telur ayam ras saat ini," ujar Syailendra.
Demi mengatasi harga telur ayam terus naik, ia akan berkomunikasi dengan peternak untuk menjaga ketersediaan pasokan demi memenuhi permintaan yang tinggi.
"Terkait kondisi dimaksud, kami terus berkoordinasi dengan kementerian/lembaga terkait serta dengan perusahaan perunggasan, dan asosiasi peternak untuk menjaga ketersediaan pasokan baik daging ayam maupun telur ayam ras di masyarakat, dengan tetap menjaga keterjangkauan harga bagi masyarakat terutama di tengah pandemi COVID-19, baik disalurkan melalui bansos pusat maupun daerah, pasar rakyat/ritel," tandas dia.