Sederet Kebijakan Edhy Prabowo yang Lengser Karena Tersandung Korupsi

Sederet Kebijakan Edhy Prabowo yang Lengser Karena Tersandung Korupsi

Danang Sugianto - detikFinance
Kamis, 24 Des 2020 17:44 WIB
Edhy Prabowo Korupsi, Tengelamkan
Foto: tim detikcom
Jakarta -

Kursi Menteri Kelautan dan Perikanan merupakan salah satu dari 6 menteri yang terkena reshuffle. Kursi itu kini diduduki oleh Sakti Wahyu Trenggono yang menggantikan Edhy Prabowo karena tersandung kasus ekspor benur.

Selama menjabat Edhy cukup banyak membuat kebijakan yang kontroversial. Sebab kebijakan yang dia buat merombag kebijakan pendahulunya Susi Pudjiastuti. Menurut catatanb detikcom ada 4 kebijakan kontroversial yang dibuat Edhy.

1. Keran Ekspor Benih Lobster Dibuka

Salah satu kebijakan yang diubah Edhy Prabowo adalah ekspor benih lobster yang tadinya dilarang, kini dibuka. Menurutnya, hal itu penting lantaran banyak nelayan yang hidupnya bergantung pada budidaya komoditas satu itu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Jangan melihat dari satu sudut pandang saja ya. Saya ingin buka kembali ekspor ini karena ada masyarakat kita yang lapar gara-gara dilarang, gara-gara ada peraturan ini (larangan penangkapan benih lobster). Ini yang harus dicari jalannya, saya enggak benci dengan kebijakan yang dulu, tapi saya hanya ingin mencari jalan keluar, bagaimana masyarakat nelayan bisa terus hidup dan tersenyum," ujar Edhy saat ditemui di kediaman Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, Jakarta, Rabu (25/12/2019).

Ekspor benih lobster resmi diizinkan Edhy Prabowo melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12 Tahun 2020 tentang pengelolaan lobster, kepiting, dan rajungan di wilayah Indonesia. Aturan tersebut ditandatanganinya pada 4 Mei 2020. Beleid diundangkan Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia pada 5 Mei 2020.

ADVERTISEMENT

2. Penenggelaman Kapal Dikurangi

Kemudian terkait penenggelaman kapal maling ikan ilegal. Sejak kepemimpinan Edhy Prabowo, dia memilih mengurangi praktik tersebut dan lebih memilih agar kapal maling ikan digunakan kembali oleh nelayan atau sekolah perikanan yang membutuhkan. Hal itu berbeda dengan Susi, yang identik dengan jargon 'tenggelamkan'.

Edhy Prabowo menyebut hanya akan menenggelamkan kapal pencuri ikan yang melarikan diri saat disergap. Lagi pula, menurutnya, butuh biaya yang tidak sedikit untuk menenggelamkan, bahkan hingga Rp 100 juta.

"Menenggelamkan kapal itu butuh biaya lagi setelah putusan pengadilan. Rp 50 juta sampai Rp 100 juta harus ada biaya menenggelamkan lagi. Ngebornya, bakarnya, nyari tempatnya, ngumpulin orangnya, ngumpulin medianya, konsumsi dan sebagainya," ujarnya dalam rapat kerja bersama Komisi IV DPR RI, Senin (6/7/2020).

Buka halaman berikutnya untuk tau lebih banyak kebijakan Edhy Prabowo.

3. Bolehkan Alat Tangkap Cantrang

Soal larangan penggunaan cantrang juga direvisi oleh Edhy Prabowo. Kini penggunaan cantrang diperbolehkan lagi untuk melaut. Menurutnya, semua alat tangkap sama saja yang penting sesuai aturan.

"Saya pikir alat tangkapnya apa saja yang penting sesuai aturan. Jangan terlalu mendikotomi (mempertentangkan) suatu alat tangkap," kata Edhy di Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Jakarta Pusat, Kamis (20/2/2020).

Pencabutan larangan cantrang disusun berdasarkan hasil kajian tindak lanjut Menteri KP Nomor B.717/MEN-KP/11/2019 tentang Kajian terhadap Peraturan Bidang Kelautan dan Perikanan.

4. Pencabutan Batasan Ukuran Kapal

Edhy Prabowo juga mencabut Surat Edaran Nomor B.1234/DJPT/Pl.410/D4/31/12/2015 tentang pembatasan ukuran GT kapal perikanan pada surat izin usaha perdagangan, surat izin penangkapan ikan, dan surat izin kapal pengangkut ikan. Pencabutan itu tertuang dalam Surat Edaran nomor B.416/DJPT/Pl.410/IX/2020 yang disampaikan KKP kepada para pelaku usaha perikanan tangkap.

Aturan batasan ukuran kapal tersebut merupakan peninggalan Menteri KKP 2014-2019 Susi Pudjiastuti. Saat itu, Susi mengeluarkan aturan yang melarang kapal di atas 150 GT untuk menangkap ikan di perairan ZEE. Alasan Susi saat itu, kapal ikan 150 GT akan membuat eksploitasi ikan secara berlebihan di perairan Indonesia. Pelarangan kapal penangkap ikan besar juga dimaksudkan untuk melindungi nelayan kecil.


Hide Ads