Kedelai Masih Impor, Apa Kabar Janji Swasembada Pangan Jokowi?

Kedelai Masih Impor, Apa Kabar Janji Swasembada Pangan Jokowi?

Tim Detikcom - detikFinance
Senin, 04 Jan 2021 14:01 WIB
Harga Kedelai Mahal, Perajin di Parepare Perkecil Ukuran Tahu-Tempe
Foto: 20Detik
Jakarta -

Pada periode pertamanya tahun 2014-2019, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sempat mengucap janji terkait rencana swasembada pangan dalam 3 tahun. Tepatnya pada Desember 2014, saat Jokowi baru 2 bulan menjabat sebagai presiden, ia melontarkan janji itu di hadapan publik.

Ia bahkan mewanti-wanti Menteri Pertanian saat itu, bila tak mampu menyelesaikan target tersebut, jabatannya bisa dicopot.

"Sudah hitung-hitungan, 3 tahun nggak swasembada, saya ganti menterinya. Yang dari fakultas pertanian bisa antre. Tapi saya yakin bisa, hitung-hitungannya ada. Jelas sekali. Konsentrasi 11 provinsi, rampung, sudah ada perhitungan," ujar Jokowi dalam acara kuliah umum di Balai Senat Balairung UGM, Yogyakarta, Selasa (9/12/2014) silam.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Adapun beberapa komoditas yang jadi target swasembada di antaranya adalah kedelai, padi, jagung, dan gula.

Jokowi juga memberi target kepada Menteri Pertanian Amran Sulaiman kala itu harus membangun irigasi jutaan hektare dengan anggaran Rp 15 triliun pada tahun 2015 untuk mendukung swasembada pangan tersebut. Perbaikan irigasi akan difokuskan di 11 provinsi penghasil pangan yang juga merupakan konsentrasi target swasembada pangan.

ADVERTISEMENT

Lalu, apa kabar janji tersebut?

Pada bulan Oktober 2020 lalu tepatnya pada peringatan Hari Pangan Sedunia diperingati, Indonesia disebut masih jauh dari swasembada pangan. Sebab, belum mampu sepenuhnya mandiri dalam memenuhi kebutuhan pangannya karena masih dibantu impor.

Hal itu diungkapkan oleh Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) Dwi Andreas Santosa. Menurutnya, sejumlah komoditas pangan strategis Indonesia masih didominasi dengan impor.

"Semakin jauhlah dari swasembada pangan. Jangan bicara beras, tapi pangan. Kita ingat hampir 100% bawang putih kita impor. Kemudian kedelai di atas 80% kita impor, gula 60-70%, dan berbagai produk lainnya," kata Andreas kepada detikcom, Jumat (16/10/2020).

lanjut ke halaman berikutnya

Padahal, menurut Andreas di era 1990-an, sebagian besar kebutuhan pangan Indonesia hampir mendekati cita-cita swasembada.

"Padahal sampai akhir tahun 90-an hampir semua komoditas pangan penting itu hampir swasembada. Kalau menurut definisi swasembada pangan itu kan hanya 10% impor. Dulu hampir semua swasembada. Tapi sekarang semakin lama, impornya semakin besar," urainya.

Ia mengatakan, melihat sumber dayanya, Indonesia mampu meraih cita-cita swasembada pangan. Hanya saja, kebijakan pemerintah yang dirasa semakin menjauhkan dari cita-cita tersebut.

"Dari sumber dayanya ya siap, nggak ada masalah. Hanya kebijakannya salah semua. Untuk mencapai swasembada, lalu buat food estate, itu meleset lah," tegas dia.

Ia mengatakan, dari 17 sektor usaha di Indonesia, petani adalah pekerja dengan upah terendah. Menurutnya, jika ingin swasembada pangan, maka naikkan dulu kesejahteraan petani.

"Kita lihat lebih sempit lagi, upah buruh tani itu hanya 62% dari upah buruh bangunan. Mana ada orang tertarik ke dunia pertanian?" imbuh dia.

Dihubungi secara terpisah, Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) Said Abdullah juga mengatakan hal serupa. Menurutnya, untuk meraih cita-cita swasembada pangan masih banyak pekerjaan rumah (PR) yang harus diselesaikan.

"Kalau menurut saya PR nya banyak, tantangannya banyak terutama soal lahan, itu isu krusial. Satu konversi, itu masih kita hadapi. Kedua tantangan bagaimana penggunaan lahan untuk infrastruktur dan pembangunan nasional itu kadang juga jadi satu persoalan yang pelik. Lalu, yang perlu dipikirkan juga mempercepat implementasi Undang-undang (UU) Perlindungan Pangan berkelanjutan. Kan sudah ada UU-nya, Peraturan Pemerintah (PP) sudah ada, di beberapa daerah sudah ada Perda. Tapi kan implementasinya masih berat," terang dia.

Senada lagi dengan Andreas, ia mengatakan, kunci swasembada pangan adalah kesejahteraan petani. Sayangnya, saat ini petani masih jauh untuk memperoleh kesejahteraan.

"Orientasi pembangunan itu petaninya harus diarahkan ke peningkatan kualitas kehidupannya. Supaya muncul impact-nya. Kalau sekarang kan bagaimana produksinya dipaksa naik. Tapi petani tidak jadi concern. Jadi seolah-olah petani hanya jadi mesin produksi, mesin tanam," katanya.

Karena hal itu, tahu dan tempe mengalami kelangkaan. Lantaran, bahan bakunya yaitu kedelai mengalami kenaikan harga di pasar global dan membuat perajin mogok produksi.

Masalahnya, untuk membuat tahu dan tempe, Indonesia masih begitu bergantung pada kedelai impor.

Buktinya, sejak awal tahun hingga bulan Oktober 2020 saja, menurut data BPS, Indonesia sudah mengimpor sebanyak 2,11 ton kedelai dengan total transaksi sebesar US$ 842 juta atau sekitar Rp 11,7 triliun (kurs Rp 14.000/US$).

Dari jumlah tersebut, negara yang paling banyak mengekspor kedelainya menuju Indonesia adalah Amerika Serikat (AS), Kanada, Malaysia, Argentina, hingga Prancis.

Selama Januari-Oktober 2020, impor kedelai dari AS ke Indonesia jumlahnya mencapai 1,92 juta ton dengan nilai transaksi sebesar US$ 762 juta atau sekitar Rp 10,6 triliun.

Selama tiga tahun terakhir, impor kedelai pun terus meningkat. Di tahun 2018 impor kedelai mencapai 2,58 juta ton, kemudian jumlahnya naik di tahun 2019 menjadi 2,67 juta ton. Selama itu pula, AS menjadi negara paling banyak yang menyediakan kebutuhan kedelai di Indonesia.


Hide Ads