Surat Keterangan Lunas Bukan Jaminan Bebas Tuntutan Pidana

Surat Keterangan Lunas Bukan Jaminan Bebas Tuntutan Pidana

- detikFinance
Rabu, 08 Feb 2006 11:42 WIB
Jakarta - Kedatangan 3 pengemplang BLBI ke Istana Presiden kembali mengungkit sebuah isu basi yang penuh kontroversi, yakni soal pemberian release and discharge (R&D). Sedianya R&D diberikan setelah para pengemplang BLBI mengantongi Surat Keterangan Lunas (SKL).Pemberian R&D ini diawali perjanjian pemerintah melalui BPPN berupa Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) dengan debitur selaku pemegang saham bank yang telah menerima Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).Ada tiga 3 bentuk PKPS, yakni Master of Settlement and Acqusition Agreement (MSAA), Master of Refinancing and Note Issuance Agreement (MRNIA), dan Akta Pengakuan Utang (APU).PKPS memuat klausul R&D yang menetapkan pemerintah akan memberikan pelepasan dan pembebasan dari tuntutan perdata dan pidana kepada debitor yang telah melunasi kewajibannya.Untuk itu diterbitkan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya atau Tindakan Hukum kepada Debitor yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham.Sulistiono Kertawacana, seorang advokat di Jakarta menilai, kesan yang timbul adalah Inpres 8/2002 merupakan kebijakan presiden dalam menafsirkan amanat TAP MPR X/2001 yang menugaskan presiden konsisten melaksanakan MSAA dan MRNIA.Bagi yang belum memenuhi kewajibannya akan diambil tindakan tegas, sesuai dengan UU 25/2000 tentang Propenas BAB IV butir C No.2,3,4.Sulistiono menjelaskan, setidaknya ada 2 klausul penting dalam Inpres 8/2002 yang menimbulkan pertanyaan.Pertama, kepada debitor yang telah menyelesaikan PKPS, akan diberikan bukti penyelesaian berupa pelepasan dan pembebasan dari tuntutan perdata dan pidana atau R&D.Kedua, jika terhadap debitor masih dalam penyelidikan, penyidikan dan/atau penuntutan oleh instansi penegak hukum, maka sekaligus juga dilakukan dengan proses penghentian penanganan aspek pidananya, yang pelaksanaannya tetap dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku."Sungguh, tidak terdapat relevansi antara pembayaran kewajiban terhadap utang piutang yang menjadi kewajiban debitur selaku pemegang saham bank dalam penyehatan dengan pemberian jaminan pembebasan dalam perkara pidana (di bidang perbankan)," ujar Sulistiono.Kewajiban membayar utang para debitor, lanjut Sulistiono, merupakan konsekuensi logis bagi debitor yang telah menerima BLBI dari pemerintah. Karenanya, tidaklah pantas pelunasan kewajiban yang timbul dari PKPS, membebaskan debitor dari ancaman pidana, seperti pelanggaran BMPK.Sulistiono juga menjelaskan, pelaku tindak pidana dapat terhindar dari (ancaman) pidana, jika terdapat alasan yang mengecualikannya (strafuitsluitingsgronden), yaitu alasan pemaaf, alasan pembenar, dan/atau dekriminalisasi."Sayangnya, dari ketiga kategori tersebut, R&D bukanlah salah satu di antaranya. Tidak terdapat sama sekali alasan pemaaf bagi debitor. Sebab, merekalah salah satu penyebab bobroknya perbankan Indonesia. Kalaupun diberikan, mestinya diputuskan hakim lewat pemeriksaan di pengadilan," urai Sulistiono yang juga pernah menulis artikel soal R&D ini di Harian Bisnis Indonesia Februari 2004 silam. (qom/)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads