Kementerian Luhut Jawab Desakan Setop Kirim ABK ke Kapal China

Kementerian Luhut Jawab Desakan Setop Kirim ABK ke Kapal China

Vadhia Lidyana - detikFinance
Rabu, 17 Feb 2021 19:15 WIB
Bakamla Periksa Kapal China di Natuna
Ilustrasi Kapal China (Foto: Dok Bakamla)
Jakarta -

Pemerintah didesak menghentikan pengiriman anak buah kapal (ABK) yang merupakan warga negara Indonesia (WNI), terutama ke kapal-kapal China. Usulan ini sebelum sudah disampaikan oleh

Anggota Komisi I DPR Bobby Adhityo Rizaldi menyusul adanya peristiwa pelarungan jenazah 3 ABK WNI oleh kapal China Long Xing 629 pada pertengahan tahun lalu.

Bobby menduga adanya pelanggaran HAM kepada ABK WNI dinilai rentan terjadi. Untuk itu, pemerintah diminta melakukan evaluasi masalah perekrutan dan perlindungan ABK di luar negeri.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Derita ABK ini harus kita sudahi. Moratorium menjadi satu-satunya opsi karena kapal penangkap ikan, khususnya yang berbendera China dan Taiwan, adalah lawless world," kata Bobby kepada wartawan, Jumat (8/5/2020).

Pertanyaan itu kembali muncul di tahun 2021. Namun, Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi Kemenko Marves Basilio D. Araujo mengatakan, pihaknya justru mendorong untuk tidak ada moratorium tersebut.

ADVERTISEMENT

Basilio mengatakan, saat ini ada 400.000 ABK yang tertahan di kapal-kapal asing dan tak bisa pulang karena negara-negara melarang naik-turun ABK di pelabuhan-pelabuhannya selama pandemi COVID-19. Jika ada moratorium pengiriman ABK Indonesia, maka para pekerja yang kini tertahan itu semakin tak bisa pulang.

"Untuk sementara ini dari data IMO (International Maritime Organization), ada 400.000 pelaut yang sedang bekerja di atas kapal baik niaga maupun perikanan, atau ada 400.000 pelaut yang tertahan di atas kapal-kapal dan tidak bisa turun, karena hampir semua negara tidak melayani turun naiknya pelaut," kata Basilio dalam konferensi pers virtual, Rabu (17/2/2021).

Ia mengatakan, jika awak kapal yang bertugas saat ini tertahan dan tak digantikan karena ada moratorium, maka akan memicu stress, yang pada ujungnya memicu peristiwa tak diinginkan di atas kapal.

"Mereka di satu ruang kapal. Kalau kapal besar masih lumayan. Tapi kalau kapal ikan 300 GT, 100 GT, itu kan kalau bahasa di sininya ketemunya lu lagi, lu lagi, itu setiap hari, selama lebih dari 1 tahun. Sementara konvensi ILO mengatakan harus 12 bulan, dan setelah 12 bulan itu mereka harus turun. Jadi ketentuannya mereka hanya boleh bekerja di atas kapal sampai 12 bulan," tutur dia.

"Nah sementara dalam kondisi saat ini, sudah ada sekitar 400.000 yang bekerja melebihi waktu 12 bulan. Dengan demikian, pasti banyak yang stress, akhirnya ribut, dan kalau kita sering dengar, terutama di kapal-kapal ikan, banyak kejadian warga negara kita juga menjadi korban," sambungnya.

Meski begitu, menurutnya pemerintah sudah berkoordinasi dengan pemerintah China agar mau menindak dan memperbaiki lingkungan kerja di kapal-kapalnya yang mengangkut ABK WNI.

"Untuk kapal China, memang kami sedang melakukan negosiasi dengan China untuk melakukan perbaikan-perbaikan. Dan kami berkoordinasi dengan Kemenlu, dan kami dapat laporan sangat bagus bahwa China mau proaktif dan akan ada perbaikan-perbaikan ke depan," tutur Basilio.

Di sisi lain, saat ini pemerintah sedang berupaya agar ijazah para pelaut Indonesia, khususnya perwira atau officer bisa diakui di luar negeri. Dengan cara itu, maka Indonesia bisa mengirim lebih banyak perwira kapal, dan pada akhirnya bisa menguasai kapal asing untuk mencegah kasus-kasus kekerasan pada ABK atau pelaut rating.

"Karena kalau kita ingin melindungi ABK kita yang di rating atau ABK biasa, maka strategi kita adalah menguasai kapalnya. Dengan demikian kita bisa kirim para perwira. Jadi untuk moratorium itu kita dorong jangan sampai ada moratorium," pungkas Basilio.




(vdl/dna)

Hide Ads