Presiden Joko Widodo (Jokowi) diisukan akan kembali melakukan reshuffle. Sebelumnya Jokowi sudah melakukan perombakan kabinet pada 22 Desember 2020. Bahkan pada periode pertama, dirinya melakukan reshuffle sebanyak 4 kali.
Tentu saja perombakan kabinet dilakukan untuk menghasilkan kinerja yang lebih baik. Namun, bila salah langkah hal itu justru dapat mengganggu iklim ekonomi dan bisnis.
"Pertama kalau reshuffle itu memang solusi, artinya solusi itu penggantinya itu benar-benar yang diinginkan oleh pasar atau pelaku usaha tentu positif," kata Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Enny Sri Hartati kepada detikcom, Jumat (16/4/2021).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal kedua yang patut dicermati dari reshuffle adalah perubahan maupun penyesuaian birokrasi yang akan terjadi ketika pergantian menteri. Menurut dia, biasanya setiap kali terjadi reshuffle membutuhkan proses penyesuaian birokrasi yang memakan waktu.
"Sehingga ini kan malah menjadikan delay keputusan-keputusan penting. Jadi, kalau ada dunia usaha ingin mengurus bukan hanya perizinan, urusan yang terkait dengan birokrasi karena ada proses pergantian malah menyebabkan delay. Nah ini kan malah jadi nggak produktif," tuturnya.
Sementara itu, Direktur riset Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia Piter Abdullah mengatakan ketika Jokowi sudah memutuskan melakukan reshuffle pasti sudah mempertimbangkannya.
"Kalau mengganggu (ekonomi/bisnis) ya tidak dilakukan reshuffle. Justru reshuffle itu dalam rangka untuk meningkatkan percepatan pemulihan ekonomi. Jadi yang diganti adalah yang dianggap kinerjanya tidak cukup membantu di dalam proses pemulihan ekonomi nasional itu," sebutnya.
Di tengah situasi pandemi virus Corona (COVID-19), menurut Piter, Jokowi membutuhkan tim yang dapat bekerja dengan lebih baik.
"Kita butuhkan yang lebih baik agar supaya kita bisa menghadapi pandemi ini secara lebih baik, sekaligus juga melakukan pemulihan ekonomi nasional dengan lebih cepat dan lebih baik," tambahnya.
(toy/dna)