Pertemuan antara Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden dengan Perdana Menteri Jepang Yoshihide Suga baru-baru disinyalir sebagai isyarat untuk melawan China. Ketegangan pun terjadi. Hal itu dinilai bisa memicu perang dagang menguat kembali.
Peneliti dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet menilai bukan tidak mungkin perang dagang pada dua tahun silam dapat kembali memanas.
"Nah, saya kira kalau berbicara konteks saat ini di mana Jepang juga ikut terlibat dalam dinamika politik Amerika Serikat dengan China, kurang lebih sebenarnya dampaknya hampir akan sama dengan 2 tahun lalu," kata dia kepada detikcom, Minggu (18/4/2021).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berkaca dari dampak perang dagang beberapa tahun lalu itu terdapat Indonesia, Rendy menyebut bisa mengancam kinerja ekspor Indonesia, terutama ke China.
"Nah tentu dampak yang langsung dirasakan ketika itu ke Indonesia ialah melemahnya kinerja ekspor karena ini kan berpengaruh terhadap kinerja perekonomian China pada saat itu," sebutnya.
Dihubungi terpisah, Ekonom di Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira juga berpendapat bila ketegangan geopolitik ini terus berlanjut dapat memicu perang dagang antara AS-Jepang dan China.
"Jadi memang eskalasi ini nanti akan memicu terjadinya perang dagang antara Amerika dengan China juga dengan Jepang ya," sebutnya.
Namun, bagaimana Indonesia menempati diri lah yang akan menentukan dampak perang dagang tersebut terhadap Indonesia. Tentu saja tetap ada peluang yang dapat dimanfaatkan.
"Harapannya Indonesia bisa memetik kesempatan karena harapannya Indonesia bisa lebih netral. Artinya justru ini kesempatan bagi Indonesia ketika perang dagang memang mengalami eskalasi, Indonesia bisa memacu ekspor ke negara-negara yang mengalami konflik tadi," tambah Bhima.
(toy/dna)