Tamparan Rencana PPN Sembako: 'Kolonialisme' untuk Si Miskin!

Tamparan Rencana PPN Sembako: 'Kolonialisme' untuk Si Miskin!

Herdi Alif Al Hikam - detikFinance
Jumat, 11 Jun 2021 06:00 WIB
Presiden Joko Widodo (Jokowi) (YouTube Sekretariat Presiden)
Kebijakan Pajak Jokowi: Bebani Si Miskin, Ringankan yang Kaya

Beragam protes juga dilayangkan dari banyak pihak, kalangan buruh misalnya. Mereka menilai wacana perluasan PPN ke sembako menyusahkan orang kecil. Di sisi lain, orang kaya banyak diberikan relaksasi pajak oleh pemerintah.

Misalnya wacana pemberian tax amnesty atau pengampunan pajak jilid II hingga relaksasi PPnBM untuk beli mobil. Presiden KSPI Said Iqbal menyebut kebijakan ini bernada kolonialisme.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kami mengecam keras! Kebijakan ini bersifat kolonialisme, cara-cara memberlakukan kembali tax amnesty jilid II dan menaikkan PPN khususnya PPN sembako adalah cara-cara kolonialisme tanda petik yang dilakukan Menteri Keuangan," ujar Said Iqbal dalam konferensi pers secara virtual, Kamis (10/6/2021).

"Ini adalah sifat penjajah. Orang kaya diberi relaksasi pajak, termasuk produsen mobil diberikan relaksasi PPnBM dalam kapasitas tertentu 0% tapi rakyat untuk makan yang kita kenal dengan sembako direncanakan dikenai pajak," lanjutnya.

ADVERTISEMENT

Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (IKAPPI) memprotes rencana pemerintah untuk menarik pajak dari pembelian bahan pokok. Ketua umum IKAPPI Abdullah Mansuri mengharapkan pemerintah agar menghentikan upaya bahan pokok sebagai objek pajak. Menurutnya, pemerintah harus mempertimbangkan banyak hal sebelum benar-benar memberlakukan kebijakan tersebut.

Dia mengungkapkan hal ini tidak sesuai dengan kondisi di lapangan. Apalagi barang yang akan dikenakan pajak adalah beras dan gabah, sagu, jagung, kedelai, garam konsumsi, daging, telur, susu, buah-buahan, sayuran, ubi-ubian, bumbu dan gula konsumsi.

Abdullah menjelaskan IKAPPI mencatat lebih dari 50% omzet pedagang pasar masih turun. Apalagi sekarang pemerintah belum mampu melakukan stabilitas bahan pangan pada beberapa bulan belakangan.

"Harga cabai bulan lalu hingga Rp 100.000, harga daging sapi belum stabil mau di bebanin PPN lagi? Gila... kami kesulitan jual karena ekonomi menurun dan daya beli masyarakat rendah. Mau ditambah PPN lagi, gimana tidak gulung tikar," jelas Abdullah dalam keterangannya, Rabu (9/6/2021).

Lembaga perlindungan konsumen juga menolak rencana ini. Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi menilai wacana ini dianggap sebagai kebijakan yang tidak manusiawi, apalagi di tengah pandemi seperti sekarang, saat daya beli masyarakat sedang turun drastis.

"Pengenaan PPN akan menjadi beban baru bagi masyarakat dan konsumen, berupa kenaikan harga kebutuhan pokok. Belum lagi jika ada distorsi pasar, maka kenaikannya akan semakin tinggi," kata Tulus dalam keterangan tertulis, Kamis (10/6/2021).

Ia mengatakan, pengenaan PPN pada bahan pangan juga bisa menjadi ancaman terhadap keamanan pasokan pangan pada masyarakat. "Oleh karena itu, wacana ini harus dibatalkan. Pemerintah seharusnya lebih kreatif, jika alasannya untuk menggali pendapatan dana APBN," tegas Tulus.

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memberikan penjelasan. Klik halaman berikutnya.


Hide Ads