Tamparan Rencana PPN Sembako: 'Kolonialisme' untuk Si Miskin!

Tamparan Rencana PPN Sembako: 'Kolonialisme' untuk Si Miskin!

Herdi Alif Al Hikam - detikFinance
Jumat, 11 Jun 2021 06:00 WIB
Presiden Joko Widodo (Jokowi) (YouTube Sekretariat Presiden)
Kebijakan Pajak Jokowi: Bebani Si Miskin, Ringankan yang Kaya

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) pun buka suara, Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo melalui akun Twitter-nya @prastow menjelaskan penerimaan PPN di Indonesia belum optimal.

Sebab, terlalu banyak pengecualian dan fasilitas, yang mana Indonesia menjadi negara dengan pengecualian terbanyak. Hanya saja, itu terkadang distortif dan tidak tepat. Bahkan jadi ruang penghindaran pajak.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Bahkan banyak barang dan jasa dikecualikan atau mendapat fasilitas tanpa dipertimbangkan jenis, harga, dan kelompok yang mengonsumsi. Baik beras, minyak goreng, atau jasa kesehatan dan pendidikan, misalnya. Apapun jenis dan harganya, semua bebas," cuit Yustinus. detikcom sudah mendapatkan izin untuk mengutip cuitannya.

Pengaturan seperti yang dia jelaskan di atas, menurutnya justru menjadikan tujuan pemajakan tidak tercapai, di mana yang mampu bayar tidak membayar karena mengonsumsi barang/jasa yang tidak dikenai PPN. Oleh karena itu perlu dipikirkan upaya untuk menata ulang agar sistem PPN di Indonesia lebih adil.

ADVERTISEMENT

"Tapi kok sembako dipajaki? Pemerintah kalap butuh duit ya? Kembali ke awal, nggak ada yang tak butuh uang, apalagi akibat hantaman pandemi. Tapi dipastikan pemerintah tak akan membabi buta. Konyol kalau pemulihan ekonomi yang diperjuangkan mati-matian justru dibunuh sendiri. Mustahil!," ungkap Yustinus.

Menteri Keuangan Sri Mulyani sendiri juga sudah angkat bicara soal wacana ini. Draft RUU Perubahan Kelima Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) disebutnya bocor ke publik. Padahal menurutnya, Sri Mulyani mengatakan akan menjelaskan secara lengkap soal rencana tersebut jika sudah dibahas di rapat paripurna DPR RI.

"Mengenai masalah PPN, mungkin Komisi XI juga memahami kita menyampaikan RUU KUP yang sampai hari ini belum disampaikan, dibacakan di paripurna. Kami tentu dari sisi etika politik belum bisa melakukan penjelasan ke publik sebelum ini dibahas karena ini dokumen publik yang kami sampaikan pada DPR melalui Surat Presiden," katanya dalam raker bersama Komisi XI DPR RI, Kamis (10/6/2021).

Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu pun menyayangkan adanya RUU KUP yang bocor ke masyarakat saat belum waktunya dibahas. Dia memastikan saat ini pemerintah masih fokus untuk pemulihan ekonomi.

"Ini memang situasinya menjadi agak kikuk karena ternyata dokumennya keluar karena memang sudah dikirimkan kepada DPR juga sehingga kami tidak dalam posisi untuk bisa menjelaskan keseluruhan arsitektur dari perpajakan kita, yang keluar sepotong-sepotong yang kemudian di-blow up dan seolah-olah menjadi sesuatu yang tidak bahkan mempertimbangkan situasi hari ini," jelas Sri Mulyani.

Kalaupun RUU KUP terealisasi, kata Sri Mulyani, belum tentu semua yang diusulkan pemerintah disetujui dan dijalankan dalam waktu dekat. Nantinya semuanya akan dibicarakan terlebih dahulu oleh DPR RI.

"Itu semua kita akan presentasikan secara lengkap, by sektor, by pelaku ekonomi kenapa kita mengusulkan pasal ini, landasannya apa dan kalau pun itu adalah arah yang benar apakah harus sekarang, apakah harus 6 bulan, apakah harus tahun depan, itu semuanya nanti kita ingin membahas secara penuh dengan Komisi XI," papar Sri Mulyani.


(hal/fdl)

Hide Ads