Anggota Komisi XI DPR RI Fraksi Partai Golkar, Puteri Komarudin meminta Kementerian Keuangan (Kemenkeu) agar berhati-hati dalam mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas barang kebutuhan pokok. Dia mengatakan kebijakan tersebut bisa mendistorsi proses pemulihan daya beli masyarakat yang sempat turun akibat pandemi.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal I 2021 masih minus 0,74 persen (yoy). Dengan angka tersebut, menurutnya ekonomi RI masih belum bisa kembali ke zona positif. Terlebih setelah mengalami kontraksi 4 kali berturut-turut sejak kuartal II 2020 yang saat itu minus 5,32 persen (yoy).
Selain itu, Puteri menyebut para pelaku usaha rumah makan juga masih mengeluhkan omzet yang turun akibat pandemi. Keluhan serupa juga dirasakan para pengemudi taxi dan ojek online. Belum lagi dengan semakin banyaknya perusahaan yang melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) serta memotong gaji karyawan. Sistem belajar dan bekerja dari rumah juga dinilainya sangat memukul para pedagang kecil.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Mayoritas pedagang bahan pokok di pasar maupun warung kecil, umumnya pengusaha kecil-menengah dengan pelanggan dari kalangan yang sama. Padahal, mayoritas pembeli barang kebutuhan pokok saat ini mengalami penurunan daya beli akibat pandemi," ujar Puteri dalam keterangan tertulis, Jumat (11/6/2021).
"Makanya seharusnya kita fokus untuk menjaga kemampuan konsumsi bagi kalangan tersebut. Terlebih, perlu diingat bahwa komponen konsumsi rumah tangga ini menjadi kontributor terbesar yang mencapai sekitar 57% bagi perekonomian kita," lanjutnya.
Puteri mengaku dirinya memahami urgensi pemerintah untuk mengejar target penerimaan negara. Meski begitu dia menyarankan agar Kemenkeu dapat mencari alternatif lain yang tidak membebani masyarakat, khususnya kalangan menengah-bawah. Apabila pada akhirnya tarif PPN bahan pokok terpaksa dinaikkan, maka sebaiknya disesuaikan dengan kalangan masyarakat yang akan mengonsumsinya.
"Makanya, pengenaan PPN atas bahan pokok hendaknya dilakukan setelah perekonomian mulai pulih. Karena hal ini dikhawatirkan dapat mendistorsi proses pemulihan daya beli masyarakat," tuturnya.
Dia pun berharap Kemenkeu dapat mempertimbangkan aspek psikologis masyarakat. Mereka akan cenderung membandingkannya dengan kebijakan insentif pembelian kendaraan roda empat dan properti.
Meski keputusan pemberian insentif memiliki tujuan baik, namun menurutnya hal tersebut hanya bisa dimanfaatkan oleh pihak tertentu. Sehingga pemerintah akan dianggap tak berpihak pada rakyat kecil.
"Jika itu terjadi, bukan tidak mungkin hal tersebut justru bisa memicu ketegangan dan kerawanan sosial. Untuk itu, wacana ini perlu dikaji secara mendalam dan komprehensif karena mempengaruhi hajat hidup orang banyak," pungkasnya.
Dibandingkan menarik pajak pada kebutuhan pokok, lanjut dia, pemerintah bisa memaksimalkan penerimaan pajak dari sektor ekonomi digital. Apalagi sektor ini tengah mengalami pertumbuhan di tengah pandemi yang juga melibatkan banyak konsumen dari kalangan yang relatif mampu.
Sebagai informasi, pemerintah berencana untuk mengenakan tarif PPN pada barang kebutuhan pokok. Hal tersebut tertuang dalam revisi draft Rancangan Undang-Undang (RUU) Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang beredar di media. Yang termasuk ke dalam kategori barang kebutuhan pokok, di antaranya beras, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, susu, dan telur.
(ega/hns)