Tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) mau diutak-atik lewat draf Perubahan Kelima Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Ada beberapa alasan yang jadi pertimbangan.
Salah satu alasannya karena tarif PPN di Indonesia dinilai masih rendah dibandingkan dengan negara lain. Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Neilmaldrin Noor mengatakan kondisi dan situasi global itu juga ikut jadi pertimbangan.
"Tarif PPN di Indonesia saat ini termasuk relatif rendah yaitu 10%. Apabila kita bandingkan dengan tarif rata-rata PPN negara OECD yaitu 19%, sedangkan negara BRICS adalah 17%," katanya dalam media briefing UU KUP, Senin (14/6/2021).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Alasan kedua karena kinerja PPN (c-efficiency) Indonesia juga masih rendah dibandingkan negara lain. Besarannya yakni 0,6, itu mengartikan bahwa Indonesia hanya bisa mengumpulkan 60% dari total PPN yang seharusnya bisa dipungut.
Baca juga: Ini Kriteria Sekolah yang Bakal Kena Pajak |
"Kalau kita bandingkan dengan negara-negara tetangga kita seperti Singapura, Thailand, dan Vietnam sudah mencapai 0,8 atau 80%. Artinya saat ini PPN yang ada di Indonesia baru terkumpul 90%. Untuk itu kita mencoba bagaimana memperbaiki baik dari sisi administrasi, dari sisi keadilan dan dari sisi regulasinya," tuturnya.
Alasan ketiga karena saat ini masih banyak objek pajak yang sama dikonsumsi oleh golongan penghasilan yang berbeda, tapi sama-sama dikecualikan dari pengenaan PPN. Hal ini dinilai kurangnya rasa keadilan untuk masyarakat bawah dengan atas.
"Banyak negara yang telah menerapkan kebijakan multitarif PPN di mana golongan yang memiliki ability to pay (kemampuan berbayar) atas barang kena pajak (BKP)/jasa kena pajak (JKP) tertentu akan dikenai tarif yang lebih tinggi," harapnya.
"Hadirnya distorsi ekonomi karena adanya tax incidence sehingga harga produk dalam negeri tidak dapat bersaing dengan produk impor; pemungutan pajak tidak efisien, pemberian fasilitas seperti saat ini memerlukan SKB/SKTD yang menimbulkan biaya administrasi," tambahnya.
(aid/das)