COVID-19 'Ngamuk' Lagi, Pemulihan Ekonomi RI Bisa Sia-sia

COVID-19 'Ngamuk' Lagi, Pemulihan Ekonomi RI Bisa Sia-sia

Siti Fatimah - detikFinance
Rabu, 16 Jun 2021 11:09 WIB
Antrean pasien COVID-19 di Rumah Sakit Darurat COVID-19 Wisma Atlet
Foto: Dimas Adhitya Dwidaswara
Jakarta -

Kasus Corona di Indonesia meningkat drastis, zona merah COVID-19 ikut meluas. Setidaknya ada 28 wilayah yang masuk dalam kategori zona merah Corona per 15 Juni 2021 kemarin. Kondisi tersebut akan berimbas pada upaya pemulihan ekonomi saat ini. Bahkan, ekonomi disebut akan kembali lagi ke titik nol.

"Kenaikan kasus COVID-19 bisa buat ekonomi kembali ke titik nol lagi. Kondisinya bisa seperti saat kenaikan tajam di bulan Januari 2021 dimana masyarakat rem belanja. Tapi kalau kembali ke Maret 2020 sampai ada panic buying sepertinya tidak. Semua tergantung dari respon kebijakan pemerintah dan pola komunikasi yang clear," ujar Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira saat dihubungi detikcom, Rabu (16/6/2021).

Menurutnya, pemerintah harus serius dalam menangani COVID-19 saat dalam periode pemulihan ekonomi. Padahal, kata dia, masyarakat sudah mulai optimistis dilihat dari data IKK bulan Mei 2021 yaitu 104,4 dan industri dengan indikator PMI manufaktur di 55,3.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Efeknya jika tidak serius dan kebijakan antar kementerian tidak konsisten harga yang dibayar bagi ekonomi akan mahal," kata Bhima menambahkan.

Dia mengatakan, salah satu contoh kebijakan pemerintah yang tidak konsisten yaitu saat tempat wisata dibuka pada momen libur Lebaran lalu. Imbasnya pada kenaikan kasus harian dan menimbulkan kerugian ekonomi di beberapa sektor usaha.

ADVERTISEMENT

"Kalau ada pengetatan mobilitas karena kasus naik yang rugi juga pelaku usaha retail, logistik, sampai warung pinggir jalan karena turunnya minat masyarakat belanja. Sementara dari sisi belanja pemerintah susah diharapkan untuk terus men-support pengeluaran kesehatan. Ledakan kasus COVID-19 akan menguras anggaran pemerintah, defisit APBN nya pasti melonjak juga. Ujungnya utang lagi dan akan jadi beban baru," jelasnya.

Bhima menyarankan agar pemerintah fokus pada penanganan melalui 3T yaitu memperbanyak test terutama bagi masyarakat dengan riwayat bepergian ke tempat wisata, tracing untuk melihat klaster baru, dan treatment persiapan faskes dan fasilitas karantina untuk hadapi lonjakan kasus di daerah.

"PSBB tentu bisa jadi opsi apabila kondisi mengarah pada status darurat. Yang penting fokus dulu sekarang 3T-nya," tandasnya.

Senada dengan itu, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal mengatakan, lonceng bahaya second wave COVID-19 sudah mulai terlihat. Dampaknya bagi ekonomi, menurutnya akan sangat beragam. Target pemerintah pertumbuhan ekonomi 7-8% akan sangat sulit untuk bisa tercapai.

"Bahaya memang, jadi memang ini indikasinya terjadi second wave sudah kentara sekali. Target pertumbuhan yang dicanangkan pemerintah 7-8% itu bisa jauh. Karena tanpa ada second wave pun kita sudah perkirakan pertumbuhannya di bawah target pemerintah, saya perkirakan 4-5% lah," kata Faisal kepada detikcom.

Dia mengatakan, PSBB mau tidak mau tetap menjadi opsi penanganan COVID-19 karena berhubungan dengan mobilitas dan penyebaran virus. Di saat bersamaan, pemerintah pun dinilainya harus mempertahankan atau bahkan menambah bantuan sosial bagi masyarakat menengah ke bawah.

"Karena kalau tidak ada pembatasan akan berdampak jangka panjang jadi lebih rugi lagi. Dan saya rasa bukan hanya sekedar pengumuman PSBB atau implementasi yang jelas karena selama ini relatif longgar. Kalau peningkatan kasus terus terjadi, pemerintah harus mempertahankan dari bantuan sosialnya karena masyarakat kelas menengah bawah yang bekerja di sektor informal tidak bisa bertahan, mereka bergantung pada mobilitas orang," pungkasnya.




(ang/ang)

Hide Ads