Strategi
Larangan budidaya lobster di Indonesia yang sempat berjalan dalam beberapa tahun terakhir, harus menjadi pengalaman berharga bagi kita. Sebab imbasnya tidak sebatas aspek ekonomi dan sosial, tapi sekaligus menghambat kompetensi dan kreativitas masyarakat kita dalam hal pengembangan budidaya lobster.
KKP yang saat itu sudah menjalin kerjasama dengan Pusat Penelitian Pertanian Internasional Australia (Aciar) untuk budidaya lobster, juga harus terhenti. Ibarat bersekolah, Indonesia terpaksa dropout, sementara Vietnam tetap melaju bahkan dengan memanfaatkan sumber daya benur yang kita punya. Ironinya lagi, nilai ekonomi dari praktik pengambilan benur dari jalur belakang tak sebanding dengan ancaman kerusakan ekologi yang ditimbulkan. Sebab pengambilannya tidak dapat dikontrol maupun didata.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Larangan budidaya lobster sangat merugikan kemampuan bangsa Indonesia untuk bisa tampil sekelas bangsa lain yang saat ini memiliki demand besar dalam hal lobster. Akhirnya, Indonesia menjadi negara di mana nelayan benur dan pembudidaya lobster-nya berada pada situasi ekonomi yang kurang menguntungkan.
Lantas apa strategi saya dalam mengelola benur untuk kesejahteraan masyarakat dan mengejar ketertinggalan dari negara lain seperti Vietnam?
Jawaban saya, budidaya. PermenKP 17/2021 merupakan pengejawantahan dari strategi tersebut. Bukan semata tata cara budidaya yang diatur, tapi juga proses pengambilan benur dari alam untuk menghindari eksploitasi besar-besaran.
Saya optimistis, dalam kurun waktu tertentu nelayan yang semula hanya menjual benur akan naik kelasnya menjadi pembudidaya lobster, sehingga tingkat kesejahteraan mereka juga ikut meningkat. Dengan demikian, kebijakan ini merupakan jalan bagi Indonesia menjadi negara yang setara dan memiliki kompetensi khususnya bidang budidaya lobster.
Di sisi lain, PermenKP 17/2021 menjamin keberlanjutan populasi lobster di alam. Sebab pembudidaya diwajibkan melakukan penebaran kembali (restocking) paling sedikit dua persen dari hasil panen lobster sesuai dengan segmentasi usaha yang dijalani.
Kenapa saya memilih langkah benur hanya boleh dimanfaatkan untuk kegiatan budidaya lobster di dalam negeri? Saya memandang benur sebagai aset negara. Yang namanya aset tentu harus dijaga jangan sampai diambil begitu saja oleh orang atau bangsa lain.
Lebih baik lagi kalau aset tersebut dikelola sehingga nilai ekonominya terus bertambah. Prinsip inilah yang saya pegang dalam mengelola benur. Artinya, benur harus dibudidaya lebih dulu menjadi lobster siap konsumsi baru kemudian diekspor.
Harga jual lobster ukuran konsumsi yang lebih tinggi berkali-kali lipat dibanding dalam kondisi benur juga menjadi alasan. Kemudian pasar lebih luas dan yang pasti aktivitas ini untuk mendorong tumbuhnya produktivitas budidaya lobster dalam negeri yang selama ini berjalan lambat.
Pembudidaya juga menjadi lebih tenang dalam menjalankan usaha sebab pasokan benur terjamin dan harganya relatif lebih stabil. Nelayan penangkap juga tidak terganggu mata pencahariannya lantaran benur yang dihasilkan tetap terserap oleh pembudidaya di Indonesia.
Di sisi lain, budidaya pembesaran benur menjadi lobster ukuran konsumsi akan menumbuhkan usaha turunan. Salah satunya usaha kerang-kerangan yang merupakan pakan bagi krustasea ini. Ada juga usaha kuliner sampai pemasaran hasil perikanan sehingga tenaga kerja yang terserap menjadi lebih banyak.
Di setiap upaya, tentu ada tantangan. Buka halaman selanjutnya.