Di tahun keenam pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS), BPJS Kesehatan kembali mendapatkan Predikat Wajar Tanpa Modifikasian (WTM) dari Kantor Akuntan Publik. Penilaian positif ini diberikan atas catatan kinerja pengelolaan program dan pengelolaan keuangan di tahun 2020.
Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti mengatakan ini merupakan predikat ketujuh yang diraih secara berturut-turut sejak BPJS Kesehatan beroperasi pada 1 Januari 2014, dan predikat ke-29 sejak berdirinya PT Askes (Persero).
Menurutnya hal ini menjadi tanda posisi keuangan BPJS Kesehatan per tanggal 31 Desember 2020 serta kinerja keuangan dan arus kas telah sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan di Indonesia. Adapun akuntan publik yang melakukan audit adalah Mirawati Sensi Idris (MSI) yang berafiliasi dengan Moore Global Network Limited.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Predikat WTM ini sejarahnya panjang. Mulai dari PT Askes kemudian bertransformasi menjadi BPJS Kesehatan, laporan keuangan kita selalu WTM. Sebagai badan hukum publik, pengelolaan keuangan yang transparan, akuntabel dan rutin harus kita kedepankan," ujar Ghufron dalam keterangan tertulis, Jumat (9/7/2021).
Selain itu dia menyebut, kondisi keuangan Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan di tahun 2020 juga dilaporkan membaik. Hal ini tercermin dari aset neto yang mengalami naik signifikan menjadi minus Rp 5,69 triliun, dari yang sebelumnya minus Rp 50,99 triliun pada 2019.
Ghufron menilai perbaikan keuangan ini tidak terlepas dari dampak penyesuaian iuran sesuai dengan amanah Perpres 64 tahun 2020. Tidak hanya itu, BPJS Kesehatan juga terus berupaya untuk melakukan penyehatan DJS serta memastikan DJS digunakan dengan benar. Artinya digunakan sesuai kebutuhan medis dan untuk meningkatkan pelayanan dan kepuasan peserta.
Dengan membaiknya kondisi keuangan DJS, lanjut dia, dampak positif yang dirasakan yang tidak terdapat klaim gagal bayar serta adanya surplus pada arus kas sebesar Rp 18,74 triliun di 31 Desember 2020. Dengan demikian diharapkan tidak ada kekhawatiran dari faskes untuk tetap memberikan layanan yang optimal bagi peserta JKN-KIS.
"Meskipun kondisi keuangan DJS semakin membaik, tapi ingat bahwa ini belum bisa dikategorikan sehat, dan kewajiban BPJS Kesehatan masih besar. Saat ini BPJS Kesehatan, Pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan terkait masih harus bekerja keras untuk mencapai batas minimal aset neto adalah 1,5 bulan klaim," katanya.
Adapun merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 84 tahun 2015 Pasal 37 ayat (1), kesehatan keuangan aset DJS diukur berdasarkan aset bersih dengan ketentuan : pertama, paling sedikit harus mencukupi estimasi pembayaran klaim untuk 1,5 bulan ke depan, dan kedua, paling banyak sebesar estimasi pembayaran klaim untuk 6 bulan ke depan.
Di samping WTM, Ghufron mengatakan sepanjang 2020 BPJS Kesehatan juga berhasil mencapai target Annual Management Contract (AMC) dengan total capaian 105,68% dari target capaian 100% yang harus diraih. Sementara, penilaian penerapan tata kelola yang baik tahun buku 2020 yang dilaksanakan oleh asesor independen menunjukkan BPJS Kesehatan termasuk dalam predikat 'sangat baik' dengan skor 90,56.
Diungkapkannya, kinerja BPJS Kesehatan juga tercermin dari sejumlah indikator lainnya. Pertama, dari aspek kepesertaan. Sampai dengan 31 Desember 2020 jumlah peserta tercatat mencapai 222,4 juta jiwa atau sekitar 82,33% dari total populasi Indonesia. Lalu dari sisi pelayanan, BPJS Kesehatan telah menggandeng 23.043 Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (puskesmas, klinik pratama, dokter praktek perorangan, dll), 2.507 Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (rumah sakit), serta 4.701 Fasilitas Kesehatan Penunjang (apotek, laboratorium, dll).
Selanjutnya, tingkat kepuasan peserta juga telah diukur melalui survei kepuasan peserta dan badan usaha yang diselenggarakan oleh konsultan independen. Berdasarkan hasil survei diperoleh indeks tingkat kepuasan peserta tahun 2020 sebesar 81,5%. Angka ini naik dari tahun 2019 yang sebesar 80,1%. Artinya 8 dari 10 peserta merasa puas terhadap layanan BPJS Kesehatan. Demikian pula indeks tingkat kepuasan faskes tahun 2020 meningkat menjadi 81,4% dari 79,1% pada 2019.
Sementara itu, realisasi pendapatan iuran per 31 Desember 2020 sebesar Rp 139,85 triliun. Pendapatan iuran ini dilaporkan terus meningkat dari tahun-tahun sebelumnya, seperti pada 2019 pendapatan iuran hanya sebesar Rp 111,75 triliun. Sedangkan realisasi pembiayaan jaminan kesehatan hingga akhir 2020 sebesar Rp 95,51 triliun, atau lebih rendah dari 2019 yaitu Rp 108,46 triliun.
Ghufron mengatakan program JKN-KIS saat ini juga telah menjadi top of mind pembiayaan pelayanan kesehatan di Indonesia. Manfaat program ini dinilai telah ikut dirasakan oleh banyak orang, yang terlihat dari peningkatan jumlah kunjungan peserta ke faskes.
Menurutnya, sejak pertama kali beroperasi tahun 2014 hingga 2020, pemanfaatan JKN-KIS sudah digunakan lebih dari 1,3 miliar kali. Pada 2014, jumlah kunjungan baru mencapai 92,3 juta kunjungan, lalu terus naik hingga menyentuh 276,1 juta kunjungan sakit di 2019, kemudian turun di 2020. Sepanjang 2020 ada sebanyak 224,7 juta kunjungan sakit di faskes, atau 615,616 kunjungan per hari kalender.
Namun demikian, Ghufron menjelaskan fenomena menurunnya utilitas JKN-KIS bersifat temporer, sehingga harus tetap diwaspadai. Ke depan dipastikan kunjungan peserta ke faskes akan berangsur normal. Mengingat mereka yang menunda berobat ke faskes karena takut tertular COVID-19 akan kembali beraktivitas normal setelah pandemi ini berakhir. Bahkan tidak menutup kemungkinan jumlah kunjungan dan layanan akan meningkat, dan beban pembiayaan jauh lebih besar. Oleh karena itu, lanjut dia, keuangan DJS tetap harus dikelola dengan baik.
Meski jumlah pemanfaatan menurun sebagai imbas pandemi Corona, namun setidaknya ada 8 jenis penyakit yang paling banyak menyerap DJS sebesar Rp 17,05 triliun. Adapun jenis penyakit tersebut, antara lain penyakit jantung pada urutan pertama dengan 11,5 juta kasus dan menyerap anggaran lebih dari Rp 8,2 triliun. Lalu disusul penyakit kanker sebanyak 2,2 juta kasus dengan biaya Rp3,1 triliun, dan penyakit stroke sebanyak 1,7 juta kasus dengan biaya Rp 2,1 triliun.
Pada posisi keempat ada penyakit gagal ginjal sebanyak 1,6 juta kasus dengan pembiayaan Rp1,9 triliun. Kemudian Thalasemia sebanyak 234.888 kasus dengan pembiayaan Rp 524,1 milyar. Hemophilia sebanyak 74.651 kasus dengan pembiayaan Rp 443,2 miliar. Leukimia dengan jumlah kasus 127.731 dengan pembiayaan Rp355,1 miliar. Terakhir ada Cirrhosis Hepatis sebanyak 156.764 kasus yang menyerap anggaran sebesar Rp 243,5 miliar.
"Penyakit katastropik seperti penyakit jantung itu bisa dicegah melalui penerapan pola hidup sehat. Kami berharap faskes kian aktif mengedukasi dan mengajak masyarakat untuk membudayakan pola hidup sehat, termasuk disiplin menerapkan protokol kesehatan untuk meminimalisir risiko penularan COVID-19. BPJS Kesehatan juga telah mengembangkan berbagai program dan aktivitas promosi kesehatan yang bekerja sama dengan faskes, berbasis teknologi digital," pungkasnya.
(ega/ega)