Wakil Ketua MPR Syarief Hasan menyoroti bantuan dana dari International Monetary Fund (IMF) yang membuat cadangan devisa RI per Agustus menjadi US$ 144,8 miliar naik US$ 7,5 miliar dibandingkan Juli sebesar US$ 137,3 miliar. Diketahui, bantuan dari IMF diberikan dalam bentuk fasilitas Special Drawing Rights (DSR) sebesar US$ 6,32 miliar atau setara Rp 90,2 triliun.
Adanya bantuan dari IMF membuat ruang fiskal Indonesia menjadi semakin longgar. Kendati demikian, Syarief masih mempertanyakan urgensi kebutuhan dari bantuan tersebut.
Menurutnya, dana bantuan IMF ini akan menimbulkan masalah tersendiri, yakni beban utang yang lebih besar. Syarief menilai bantuan ini justru akan membuat tekanan terhadap APBN menguat di masa depan. Bahkan, bisa menjadi beban fiskal yang akan diwariskan oleh pemerintah berikutnya, serta menjadi tanggungan rakyat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menteri Koperasi dan UKM di era Presiden SBY ini menilai pemerintah seharusnya bisa berkaca pada keberhasilan Pemerintahan SBY dalam melunasi utang pada IMF di tahun 2006 dan bukan menambah utang. Diketahui, capaian itu membuat utang kepada IMF lunas lebih cepat 4 tahun dari yang dijadwalkan.
"Pemerintah tidak bisa berkelit bahwa dana bantuan IMF ini adalah utang. Apakah khusus untuk DSR ini jangka waktu pengembaliannya lebih longgar, utang ini tetap mesti dilunasi. Bahkan pertanyaan paling pokoknya: apakah kita memang benar-benar membutuhkan dana bantuan ini? Jika memang kita tidak begitu membutuhkan, jelas pemerintah mengambil langkah keliru. Jika benar fundamental ekonomi masih cukup kuat, kita tidak membutuhkan tambahan utang baru," ungkap Syarief dalam keterangannya, Jumat (10/9/2021).
Anggota Majelis Tinggi Partai Demokrat ini pun menambahkan bahwa yang namanya utang harus tetap dilunasi, apalagi ada bunga yang juga mesti dibayar. Oleh karena itu, politisi senior Partai Demokrat ini berpandangan pemerintah harus sangat berhati-hati untuk menambah utang baru.
Menurutnya, utang yang ada saat ini sudah memberikan tekanan yang berat terhadap APBN. Apalagi jika ditambah dengan jumlah utang yang nilainya Rp 90,2 triliun. Ia menyebutkan dengan nilai yang besar, ada beban bunga besar pula yang harus dilunasi.
"Saya sangat menyayangkan sikap pemerintah yang masih saja doyan mengobral utang. Sementara di sisi lain, pemerintah kerap kali membanggakan pertumbuhan ekonomi mengesankan. Realisasi ekspor neto dan investasi meningkat. Ini jelas sebuah anomali, bahkan kebijakan yang tidak tepat arah. Jika memang pemerintah cukup percaya diri dengan kinerja perekonomian, harusnya tidak perlu menambah utang baru," tuturnya.
Syarief pun menerangkan, posisi utang Indonesia per Juli 2021 telah mencapai angka Rp 6.570,17 triliun atau 40,51% dari PDB. Pada APBN 2022, pemerintah mengalokasikan pembayaran bunga utang sebesar Rp 405,9 triliun, lebih besar 10,8% dari outlook 2021.
Ia menyebutkan, sudah seharusnya pemerintah berani mengatakan bahwa Indonesia tidak membutuhkan tambahan utang baru. Terlebih jika memang pemerintah mengklaim dana bantuan IMF ini diberikan tanpa diminta.
"Saya khawatir pemerintah mengambil risiko besar yang justru akan ditanggung bersama oleh seluruh rakyat Indonesia. Jelas kinerja utang kita menunjukkan indikator yang mencemaskan," pungkasnya.
(akn/hns)