Jokowi Pernah Bilang Tax Amnesty Cuma Sekali, Kok Sekarang Ada Lagi?

Jokowi Pernah Bilang Tax Amnesty Cuma Sekali, Kok Sekarang Ada Lagi?

Tim Detikcom - detikFinance
Senin, 04 Okt 2021 12:41 WIB
In this photo taken from video and shown at United Nations headquarters, Indonesias President Joko Widodo remotely addresses the 76th session of the U.N. General Assembly in a pre-recorded message, Wednesday, Sept. 22, 2021. (UN Web TV via AP)
Foto: AP/United Nations
Jakarta -

Wacana pengampunan pajak atau tax amnesty jilid II mengemuka sejalan dengan akan disahkannya Rancangan Undang-undang (RUU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Hal tersebut pun mengingatkan pada pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang pernah menyatakan jika tax amnesty hanya tak akan terulang lagi.

Dalam pemberitaan detikcom tahun 2016 lalu, Jokowi pernah menyampaikan, dirinya akan mengawal sendiri penerapan kebijakan tax amnesty.

"Jangan ada yang coba main-main dengan tax amnesty. Akan saya kawal sendiri, dengan cara saya. Nggak usah saya sebutkan," ujar Jokowi dalam pencanangan kebijakan pengampunan pajak atau tax amnesty di Kantor Pusat Ditjen Pajak, Jakarta, 1 Juli 2016.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Tak ada keraguan, atau masih was-was, nggak. Akan saya ikuti dan awasi terus. Akan saya cek,cek,cek,cek," tegas Jokowi.

Jokowi menegaskan sikapnya ini karena kebijakan tax amnesty sangat penting untuk mendukung penerimaan negara. Seperti pernah diberitakan sebelumnya, potensi dana hasil repatriasi yang masuk diperkirakan mencapai Rp 1.000 triliun, sedangkan tambahan penerimaan dari tarif tebusan diperkirakan mencapai Rp 165 triliun.

ADVERTISEMENT

"Karena ini bukan hanya untuk penerimaan tahun ini, tapi juga database yang meningkat lebih besar. Sehingga, penerimaan negara betul-betul sesuai dengan apa yang kita inginkan," kata Jokowi

Jokowi berharap para wajib pajak memanfaatkan tax amnesty karena hanya berlaku sekali saja. Kurun waktunya mulai Juli 2016 hingga 31 Maret 2017.

"Kesempatan ini tidak akan terulang lagi. Jadi tax amnesty adalah kesempatan yang tidak akan terulang lagi. Ini yang terakhir. Yang mau gunakan silakan, yang tidak maka hati-hati," kata Jokowi.

Tonton juga Video: Ekonom soal Tax Amnesty Jilid II: Banyak Mudaratnya

[Gambas:Video 20detik]




Perbandingan RUU HPP dan UU Pengampunan Pajak

Dalam draft RUU HPP yang diterima detikcom memang tidak secara gamblang ditulis pengampunan pajak ataupun tax amnesty. Namun, dalam draft ini memuat soal Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak yang tertuang dalam Bab V.

Pada Pasal 5 draft tersebut dijelaskan, wajib pajak dapat mengungkapkan harta bersih yang belum atau kurang diungkapkan dalam surat pernyataan sepanjang Direktur Jenderal Pajak belum menemukan data dan/atau informasi mengenai harta dimaksud.

"Harta bersih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan nilai harta dikurangi nilai utang sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak," bunyi Pasal 5 Ayat 2.

Surat pernyataan yang tersebut ialah sebagaimana yang dimaksud dalam UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak.

"Harta sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan harta yang diperoleh Wajib Pajak sejak tanggal 1 Januari 1985 sampai dengan tanggal 31 Desember 2015," bunyi Pasal Ayat 4.

Harta bersih yang dimaksud pada Ayat 1 dianggap sebagai penghasilan tambahan dan dikenai Pajak Penghasilan bersifat final. Pajak Penghasilan yang bersifat final dihitung dengan cara mengkalikan tarif dengan dasar pengenaan pajak.

Tarifnya pun diatur dalam draft tersebut. Tarif itu diatur dalam Pasal 7 dengan ketentuan 6% atas harta bersih yang berada di wilayah Indonesia atau dalam negeri dengan ketentuan diinvestasi sebagaimana diatur dalam RUU ini, dan 8% atas harta bersih berada di dalam negeri dan tidak diinvestasikan sebagaimana diatur dalam RUU tersebut.

Lalu, 6% atas harta bersih yang berada di luar wilayah Indonesia atau luar negeri dengan ketentuan dialihkan ke Indonesia serta diinvestasikan sebagaimana ketentuan dalam RUU ini. Kemudian, sebanyak 8% atas harta bersih yang berada di luar negeri dengan ketentuan dialihkan ke dalam wilayah Indonesia tapi tidak diinvestasikan. Selanjutnya, sebanyak 11% atas harta bersih yang berada di luar negeri dan tidak dialihkan ke dalam wilayah Indonesia.

Bandingkan dengan UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak. Pada UU tersebut dijelaskan, pengampunan pajak adalah penghapusan pajak yang seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan, dengan cara mengungkap harta dan membayar uang tebusan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang.

Di Pasal 3 Ayat 1 disebutkan, setiap wajib pajak berhak mendapat pengampunan pajak. Lalu, pengampunan pajak diberikan kepada wajib pajak pengungkapan harta yang dimilikinya dalam surat pernyataan.

"Pengampunan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengampunan atas kewajiban perpajakan sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir, yang belum atau belum sepenuhnya diselesaikan oleh Wajib Pajak," bunyi Pasal 3 Ayat 4.

Tarif dan cara menghitung uang tebusan pun telah diatur dalam BAB IV UU ini, baik atas harta yang berada di dalam negeri maupun di luar negeri.

Dari penjelasan keduanya, terdapat kemiripan di mana, pengungkapan harta menjadi kunci untuk mendapat tarif atau tebusan yang diatur dalam payung hukum tersebut.

Anggota Komisi XI Fraksi PDI Perjuangan Hendrawan Supratikno menjelaskan, RUU HPP diharapkan mendorong konsistensi kepatuhan. Dia mengatakan, tanpa kepatuhan membayar pajak, negara sulit memperkirakan penerimaan pajak. Sejalan dengan itu, tanpa penerimaan pajak yang akurat seperti yang direncanakan maka keuangan negara dalam posisi yang rentan.

"Dari sisi lain, ini bisa juga dipandang sebagai kebijakan memperingan beban wajib pajak. Bisa diistilahkan pengampunan pajak (tax amnesty), bisa disebut kebijakan sebelum matahari terbenam (sunset policy)," katanya kepada detikcom.


Hide Ads