Pakar Marketing Yuswohady menyebut ada sejumlah faktor yang mempengaruhi tarif endorse bisa begitu mahal. Pertama adalah banyaknya audiens yang bisa dijangkau oleh si selebgram atau influencer.
"Kalau banyak kan (audiensnya) otomatis kita akan dilihat oleh banyak orang. Itu namanya awareness, artinya kita dikenal orang," katanya kepada detikcom, Rabu (20/10/2021).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tetapi hal di atas bukan satu-satunya faktor penentu. Faktor lainnya adalah kecocokan karakter selebgram dengan produk yang akan di-endorse. Itu adalah sesuatu yang akan mempengaruhi kesan yang dilihat orang dari brand yang di-endorse.
"Kemudian ada credibility (kredibilitas), ada trustworthy (kepercayaan)," lanjutnya.
Lalu ada loyalitas. Yuswohady menyebut laku atau tidaknya barang yang di-endorse oleh selebgram sangat tergantung pada loyalitas para pengikutnya. Apa yang dipromosikan oleh selebgram akan dibeli oleh pengikutnya jika mereka benar-benar loyal.
"Kalau si artisnya itu atau selebgramnya itu suka apa, dia (pengikutnya) akan suka apa. Jadi kayak mirroring, si selebgram itu jadi panutan. Itu bagus untuk call to action untuk beli," katanya.
Dia menjelaskan semakin tinggi loyalitas followers maka semakin besar peluang barang yang di-endorse oleh selebgram dibeli oleh followers-nya. Dia mencontohkan fenomena boyband asal Korea Selatan (Korsel) BTS. Mereka punya basis penggemar yang sangat loyal.
Ketika BTS meng-endorse produk McDonald's (McD) maka para fans-nya berbondong-bondong membeli produk McD edisi boyband tersebut. Hal yang sama bisa berlaku terhadap selebgram atau influencer di media sosial.
"Followers itu menjadikan anggota BTS itu sebagai role model, artinya dia itu makan McD maka followers-nya ikutan makan McD gitu. Kalau sudah sampai ke situ selebgram itu menjadi sangat powerfull untuk dijadikan sebagai endorser," paparnya.
Lantas setelah Rachel Vennya tersandung kasus apakah masih diperhitungkan sebagai endorser? Baca di halaman selanjutnya.