Faisal Basri: Saya Tidak Anti Investasi China

Faisal Basri: Saya Tidak Anti Investasi China

Danang Sugianto - detikFinance
Senin, 01 Nov 2021 10:55 WIB
Jakarta -

Ekonom Senior Faisal Basri menepis pandangan yang menyebutkan dirinya pihak yang anti investasi China. Hal itu seiring dengan sederet kritikan pedasnya terhadap proyek-proyek besar yang berkaitan dengan investasi China seperti Kereta Cepat Jakarta-Bandung.

Hal itu ditegaskannya saat berbincang dalam acara Blak-blakan detikcom.

"Saya sama sekali tidak anti investasi China, sama sekali tidak. Bahkan saya yang menyampaikan menjelang pemilu bahwa investasi China di Indonesia itu tidak seberapa," tegasnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Faisal menjelaskan saat itu dia mengatakan bahwa Indonesia hanya berada di urutan ke-22 dalam daftar negara penerima investasi dari China. Indonesia masih kalah dari Malaysia, Singapura dan Thailand untuk meraup investasi dari China.

Menurutnya hal itu seharusnya juga menjelaskan bahwa Indonesia tidak dikuasai sepenuhnya oleh China. Sebab masih banyak negara lain yang menerima suntikan investasi dari China yang jauh lebih besar.

"Itu saya sampaikan, jadi tidak benar kalau kita dikuasai oleh China, sampai sekarang pun kita tidak dikuasai oleh China. Pinjaman dari China pun tidak besar, pinjaman terbesar adalah dari Singapura, jadi kita tidak dibeli oleh China," tambahnya.

ADVERTISEMENT

Namun, lanjut Faisal, ada beberapa hal negatif dari investasi China di Indonesia. Salah satunya terkait tenaga kerja. Menurut catatannya, perbandingan investasi China dengan tenaga kerja yang dibawanya 3,4.

"China itu koefisiennya 3,4. Jadi kasarnya untuk US$ 1 juta yang masuk ke Indonesia dia bawa 3,4 orang. Nah kalau Singapura bahwa 0,1 orang, kan jauh sekali. Terbesar kedua adalah Korea 1,6. Tapi China jauh 3,4," tegasnya.

Menurutnya hal itu yang harusnya diwaspadai oleh pemerintah Indonesia saat menerima investasi dari China. Jangan terlalu mudah mengabulkan keinginan China dalam proses negosiasi.

Lanjut ke halaman berikutnya

Kedua, Faisal juga menilai Indonesia terlalu mengobral kepada China dalam hal smelter nikel. Banyak pabrik pemurnian nikel di Indonesia yang merupakan investasi China ternyata memberikan keuntungan terlalu besar kepada China.

"Coba bayangkan kalau pengusaha China punya smelter di China itu beli bijih nikelnya US$ 80 per ton, tapi kalau pengusaha china yang punya smelter di Indonesia beli bijih nikelnya US$ 20 per ton, kan bodoh kita. Jangan diobral begitu," tegasnya.

Dia juga menilai smelter milik investor China di RI tidak sepenuhnya mendukung industrialisasi di Indonesia. Karena ternyata mereka masih melakukan ekspor produk turunan nikel setengah jadi. Menurutnya hal itu telah merugikan Indonesia sekitar Rp 200 triliun dalam 5 tahun terakhir.

"Jadi bijih nikel ini kan diolah di smelter itu menjadi antara lain nickel pig iron yang tingkat pengolahannya 10-15%. Kemudian feronikel kira-kira 25% pengolahannya. Selevel itu saja hampir 100% diekspor ke China. Jadi tidak benar bahwa smelter china itu mendukung industrialisasi di Indonesia, yang betul smelter China mendukung industrialisasi di China. Masa kita diam saja, harusnya itu sudah dipansuskan di DPR," tegasnya.

Tak hanya itu, di beberapa smelter nikel milik investor China di Indonesia ternyata mendatangkan TKA China yang begitu banyak. Bahkan untuk posisi terendah sekalipun, seperti juru masak hingga satpam.

"Sudah itu mereka bebas bawa pekerjanya bukan yang ahli, kalau ahli kita nggak keberatan, tapi kalau bawa tukang kebun, yes tukang kebun, saya datanya ada semua. Insya Allah saya bicara dengan data selalu. Kemudian satpam, lantas juru masak. Ya boleh 1-2 orang juru masak, tapi jangan semua dong," terangnya.


Hide Ads