China sebagai negara ekonomi terbesar kedua di dunia tengah menghadapi inflasi yang disebabkan kenaikan harga sayuran, makanan eceran, krisis properti dan krisis energi. Inflasi yang terjadi di China merupakan tertinggi sejak 26 tahun lalu dan terus meningkat selama empat bulan terakhir.
Direktur Center of Economic and Law Studeis Bhima Yudhistira menyatakan, inflasi di China dapat berpengaruh pada ekonomi Indonesia dalam jangka pendek. Sudah menjadi rahasia umum, jual beli barang di Indonesia sebagian merupakan hasil impor dari China.
"Inflasi di China bisa memiliki transmisi ke ekonomi di Indonesia dalam jangka pendek. Mahalnya harga kebutuhan pokok, bahan baku dan harga energi akan mempengaruhi harga jual barang-barang impor asal China," kata Bhima kepada detikcom, ditulis Jumat (12/11/2021).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, sedikit saja perubahan harga di tingkat produsen China maka harga yang akan sampai di tingkat konsumen Indonesia otomatis akan lebih mahal. "Barang barang elektronik, pakaian jadi dan makanan jadi salah satu yang sensitif terhadap gangguan biaya produksi di China. Itu baru dari sisi barang impor ya," ujarnya.
Dia melanjutkan, dampak yang lebih buruk bisa saja terjadi jika inflasi China mempengaruhi harga komoditas di Indonesia. Misalnya untuk komoditas seperti Gandum dan Jagung.
"Harga gandum dilansir dari Tradingeconomics terpantau naik 9,5% dibanding bulan lalu. Disusul jagung yang naik 8,5% pada periode yang sama bisa mempengaruhi harga pakan ternak. Masalah bertambah kompleks karena ada ancaman La Nina yang membuat produksi pangan dalam negeri menurun," jelasnya.
Pihaknya menyarankan, agar pemerintah segera mengambil tindakan dengan memastikan stok pangan dalam negeri tercukupi. Sedangkan di sisi pengusaha, ia menyarankan untuk mulai mengamankan bahan baku atau mencari alternatif lain.
"Jadi pemerintah harus siap sedia ya amankan stok pangan. Untuk pengusaha diminta amankan bahan baku atau cari alternatif yang lebih murah," katanya.