Waduh! Inflasi Gila-gilaan di China Bisa Ngefek ke RI, Beneran Nih?

Waduh! Inflasi Gila-gilaan di China Bisa Ngefek ke RI, Beneran Nih?

Siti Fatimah - detikFinance
Jumat, 12 Nov 2021 18:00 WIB
An employee attends to a customer at a supermarket in Beijing, China, Wednesday, Nov. 3, 2021.  A recent seemingly innocuous government recommendation for Chinese people to store necessities for an emergency quickly sparked scattered instances of panic-buying and online speculation of imminent war with Taiwan. (AP Photo/Ng Han Guan)
Waduh! Inflasi Gila-gilaan di China Bisa Ngefek ke RI, Beneran Nih?
Jakarta -

China sebagai negara ekonomi terbesar kedua di dunia tengah menghadapi inflasi yang disebabkan kenaikan harga sayuran, makanan eceran, krisis properti dan krisis energi. Inflasi yang terjadi di China merupakan tertinggi sejak 26 tahun lalu dan terus meningkat selama empat bulan terakhir.

Direktur Center of Economic and Law Studeis Bhima Yudhistira menyatakan, inflasi di China dapat berpengaruh pada ekonomi Indonesia dalam jangka pendek. Sudah menjadi rahasia umum, jual beli barang di Indonesia sebagian merupakan hasil impor dari China.

"Inflasi di China bisa memiliki transmisi ke ekonomi di Indonesia dalam jangka pendek. Mahalnya harga kebutuhan pokok, bahan baku dan harga energi akan mempengaruhi harga jual barang-barang impor asal China," kata Bhima kepada detikcom, ditulis Jumat (12/11/2021).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurutnya, sedikit saja perubahan harga di tingkat produsen China maka harga yang akan sampai di tingkat konsumen Indonesia otomatis akan lebih mahal. "Barang barang elektronik, pakaian jadi dan makanan jadi salah satu yang sensitif terhadap gangguan biaya produksi di China. Itu baru dari sisi barang impor ya," ujarnya.

Dia melanjutkan, dampak yang lebih buruk bisa saja terjadi jika inflasi China mempengaruhi harga komoditas di Indonesia. Misalnya untuk komoditas seperti Gandum dan Jagung.

ADVERTISEMENT

"Harga gandum dilansir dari Tradingeconomics terpantau naik 9,5% dibanding bulan lalu. Disusul jagung yang naik 8,5% pada periode yang sama bisa mempengaruhi harga pakan ternak. Masalah bertambah kompleks karena ada ancaman La Nina yang membuat produksi pangan dalam negeri menurun," jelasnya.

Pihaknya menyarankan, agar pemerintah segera mengambil tindakan dengan memastikan stok pangan dalam negeri tercukupi. Sedangkan di sisi pengusaha, ia menyarankan untuk mulai mengamankan bahan baku atau mencari alternatif lain.

"Jadi pemerintah harus siap sedia ya amankan stok pangan. Untuk pengusaha diminta amankan bahan baku atau cari alternatif yang lebih murah," katanya.

Ekonom Senior Indef Dradjad Wibawa menambahkan, China bisa 'mengekspor' inflasi ke seluruh dunia termasuk Indonesia karena perannya sebagai rantai pasok terbesar. Senada dengan Bhima, dia juga menilai harga-harga akan ikut terkerek naik.

"Apalagi, Indonesia masih defisit perdagangan dengan China. Efeknya Indonesia berisiko nebgalamu peningkatan inflasi dan harga-harga akan naik," ujarnya.

Dia juga menuturkan, inflasi tersebut dapat berkaitan dengan investasi dan modal kerja di Indonesia. Meski begitu, perlu dikaji lebih mendalam terkait seberapa besar pengaruhnya dalam biaya modal.

"Indonesia sekarang semakin banyak memakai pembiayaan dari China. Inflasi di China bisa menaikkan cost of money dalam pembiayaan investasi dan modal kerja di Indonesia. Saya belum tahu seberapa besar, tapi yang jelas membuat biaya modal di Indonesia lebih mahal," jelasnya.

Sebelumnya diberitakan, Badan Statistik Nasional China mencatat data terbaru inflasi di Oktober 2021 terpantau dari Indeks Harga Produsen atau Producer Price Index (PPI) melonjak 13,5%.

"Pada bulan Oktober, kenaikan PPI meluas karena kombinasi faktor global yang diimpor dan ketatnya pasokan energi dan bahan baku domestik utama," kata ahli statistik senior NBS Dong Lijuan dalam sebuah pernyataan, dikutip dari AFP.

Dong menambahkan, 36 dari 40 sektor industri yang disurvei mengalami kenaikan harga termasuk lonjakan harga pertambangan batubara dan ekstraksi minyak serta gas alam

Selain itu, Indeks Harga Konsumen atau Consumer Price Index (CPI), ukuran utama inflasi ritel, meningkat 1,5% pada Oktober atau naik 0,7% pada September. "Ini karena efek gabungan dari cuaca yang tidak biasa, ketidaksesuaian permintaan dan pasokan produk tertentu, serta kenaikan biaya modal," kata Dong.


Hide Ads