Eks Pimpinan KPK Kritisi Tuntutan Mati di Kasus Asabri

Eks Pimpinan KPK Kritisi Tuntutan Mati di Kasus Asabri

Siti Fatimah - detikFinance
Sabtu, 11 Des 2021 20:17 WIB
Tuntutan hukuman mati di kasus ASABRI diajukan jaksa untuk Presiden Komisaris PT Trada Alam, Heru Hidayat.
Foto: Ari Saputra
Jakarta -

Perkara kasus korupsi Asabri memasuki babak baru. Jaksa menuntut Presiden Komisaris PT Trada Alam Minera, Heru Hidayat hukuman mati dan membayar uang pengganti senilai Rp 12,64 triliun. Kabar itu pun memantik komentar berbagai pihak salah satunya Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang.

Saut mengkritisi terkait adanya tuntutan mati dalam kasus yang ada di dalam negeri. Menurutnya, tuntutan hukuman mati tidak mencerminkan pembangunan peradaban hukum yang sustainable atau berkelanjutan.

"Saya tidak mau masuk ke materinya, tentang apa yang diperbuat yang bersangkutan. Namun sejarah menunjukkan hukuman mati tidak membangun peradaban hukum yang sustain. Sebaiknya dihukum sesuai hukum positif kita, misalnya seumur hidup penjara atau hukuman maksimal lainnya," kata Saut dalam keterangannya, Sabtu (11/12/2021).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Saat ditanya apakah hukuman mati dapat benar-benar menjadi solusi ampuh menghentikan laju tindak pidana korupsi di Indonesia, Saut menyinggung soal Corruption Perception Index (CPI) atau Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia berada di posisi rendah yaitu di angka 37.

"Kita masih pada angka CPI 37. Kerjaan memati-matikan koruptor itu hanya seperti menembak segerombolan orang jahat yang sedang melakukan aksi, anggota kelompok yang lain kabur dan tiarap sementara untuk kemudian beraksi lagi kapan-kapan," ujarnya.

ADVERTISEMENT

Dia menegaskan, masih banyak opsi lain dalam upaya pemberantasan korupsi secara maksimal misalnya dengan memvonis hukuman 100 tahun, tanpa peduli besar atau kecil uang yang dikorupsi. Namun, tidak ada opsi untuk hukuman mati dalam penegakan hukum terkait kasus demikian.

"Detail setiap kasus korupsi dalam hal persekongkolan kelompok dan peran siapapun harus dituntaskan. Tidak ada pembenaran penjara penuh, restorative justice dan lainnya. Kalau mau sustain memberantas korupsi, tidak ada cara lain kecuali dengan pendekatan kompleks yang mengadili siapapun, besar atau kecil yang dicuri. Jadi bukan dengan pendekatan hukuman mati agar orang berhenti korupsi karena nilainya besar, misalnya," papar Saut.

Bersambung ke halaman berikutnya. Langsung klik

Solusi dari persoalan hukuman mati yang kontroversial ini, kata Saut, adalah dengan memaksimalkan hukuman penahanan atau penjara seumur hidup. Bahkan bila perlu sampai 100 tahun, bila ada di dalam hukum positif Indonesia.

"Jadi kita ubah terlebih dahulu UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, yang kemudian memungkinkan kita bisa memenjarakan koruptor 100 atau 200 tahun, daripada sekadar jalan pintas buat UU Omnibus Law dan lainnya," imbuhnya.

Sebelumnya, Heru dituntut hukuman mati dikarenakan kasus korupsi bersama mantan Dirut ASABRI Adam Damiri dan Sonny Widjaja dkk. Kasus korupsi ini merugikan negara sebesar Rp 22,7 triliun.

"Menghukum Terdakwa Heru Hidayat dengan pidana mati," kata jaksa Pengadilan Tipikor Jakarta.

Heru Hidayat sebelumnya sudah dijatuhi hukuman seumur hidup atas kasus korupsi asuransi Jiwasraya. Korupsi ini merugikan negara sebesar Rp 16 triliun.

"Terdakwa Heru Hidayat juga merupakan terpidana seumur hidup dalam perkara korupsi pengelolaan investasi Jiwasraya yang merugikan keuangan negara Rp 16.807.283.375.000 (triliun)," ungkap jaksa.

Tuntutan hukuman mati ASABRI diajukan karena jaksa menilai perbuatan Heru Hidayat termasuk kejahatan luar biasa atau extraordinary crime. Artinya, perilaku korupsi Heru Hidayat berbahaya bagi bangsa dan martabat bangsa


Hide Ads