Harga minyak goreng terus melambung tinggi sampai Rp 25.000 per kilogram. Pemerintah diminta untuk memberlakukan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligazion (DPO) untuk kelapa sawit.
"Tingginya harga ini membutuhkan campur tangan pemerintah," kata Anggota Komisi VI DPR RI Nusron Wahid dalam Rapat Kerja dengan Menteri Perdagangan, Senin (13/12/2021).
Di satu sisi produsen memang diuntungkan dengan lonjakan harga (wind fall) ini, tapi di sisi lain konsumen sangat dirugikan. Nusron bilang, 20% produsen terdiri dari petani plasma dan 80% lainnya merupakan pengusaya besar yang jumlahnya kurang dari 100 orang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Maka, atas nama keadilan, pemerintah harus hadir dan campur tangan. Perlu ada DMO khusus untuk pasokan minyak goreng dan Fame di dalam negeri. Selain itu juga diperlakukan DPO atau harga khusus domestic," terang Nusron.
Menurut Nusron, harga keekonomian CPO itu harusnya hanya US$ 400-600 atau sekitar Rp 5,6 juta sampai Rp 8,5 juta (kurs dolar Rp 14.200) per metrik ton. Namun, sekarang harganya mencapai US$ 1.300 atau sekitar Rp 18,4 juta per metrik ton.
"Seharunya kalau hanya mengalokasikan DMO 30% dengan harga yang ditentukan pemerintah, menurut saya merupakan fair dan adil. Tidak bakal rugi dari sisi pengusaha karena tetap ada sharing the gain atau berbagi keuntungan," tuturnya.
Sementara untuk produsen petani, kata Nuston, tidak perlu DMO dan DPO. Menurutnya, biarkan petani kecil menikmati keuntungan di tengah lonjakan harga ini.
"Tapi bagi produsen yang punya puluhan ribu hektar, harusnya diatur DMO dan DPO. Karena konsumen juga harus dilindungi. Kan fair, dalam arti produsen yang besar juga harus sejahtera, tapi terukur," tegas Nusron.
"Karena itu kami minta untuk harga minyak goreng tetap Rp 11.000 dengan mengggunakan mekanisme harga khusus lokal yang ditentukan pemerintah," pungkasnya.
(dna/dna)