Membedah Salah Kaprah IKN Diduduki China

ADVERTISEMENT

Kolom

Membedah Salah Kaprah IKN Diduduki China

Khairul Fahmi - detikFinance
Minggu, 23 Jan 2022 11:45 WIB
Khairul Fahmi, Co-Founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS)
Foto: Dok. Istimewa
Jakarta -

Rancangan Undang-Undang tentang Ibu Kota Negara (RUU IKN) resmi disahkan sekaligus menjadi kelanjutan pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 16 Agustus 2019. Dalam Sidang Bersama DPR RI dan DPD RI, RI-1 meminta izin dan dukungan untuk memindahkan ibu kota negara ke Pulau Kalimantan.

Seketika beragam pendapat pro dan kontra menyeruak. Sebenarnya polemik sudah berlangsung lama dan tak pernah benar-benar mereda, namun diskursus semakin meruncing semenjak RUU IKN disahkan. Dalam berbagai diskursus yang saya amati, terdapat dua kritik keras terhadap proyek IKN. Pertama, banyak pihak yang menaruh dugaan bahwa IKN akan menjadi New Beijing atau Beijing kedua. Kesimpulan ini ditarik dari asumsi bahwa sponsor utama proyek pemindahan ibu kota adalah Tiongkok.

Kemudian yang kedua adalah keamanan ibu kota. Saya memperhatikan, sejak pernyataan Presiden Jokowi pada Agustus 2019, beredar berbagai analisis, baik berbentuk tulisan maupun video yang menunjukkan bagaimana rentannya letak IKN yang baru. Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur dinilai sebagai lokasi rentan karena posisinya yang dekat dengan negara tetangga.

Yang lebih menarik adalah, tidak sedikit pihak yang menempatkan Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto sebagai sasaran kritik. Sebagai jenderal bintang tiga, dengan pengetahuan dan pengalamannya, Prabowo diharapkan memberi masukan dan menghalau agar IKN tidak menjadi New Beijing. Begitu pula pada isu kerentanan lokasi IKN, mantan Danjen Kopassus itu dinilai seharusnya memberi penjelasan atas risiko geografis ibu kota baru.

Pertanyaan yang Keliru

Dari dua kritik utama, saya teringat sebuah adagium yang berbunyi, "pertanyaan yang keliru akan melahirkan jawaban yang keliru." Ada beberapa catatan mengapa saya mengangkat adagium tersebut, khususnya terhadap mereka yang justru menjadikan Menteri Pertahanan sebagai sasaran kritik. Terkait kritik pertama, yakni IKN akan menjadi New Beijing. Jika kita berbicara tupoksi, persoalan itu bukan merupakan kewenangan Menteri Pertahanan. IKN merupakan proyek pembangunan yang tentunya menempatkan kementerian bidang pembangunan seperti Bappenas sebagai pengurus kontrak-kontraknya. Ini misalnya bisa dilihat dari Kepala Bappenas Suharso Monoarfa yang kerap memberikan keterangan terkait perkembangan IKN.

Kemudian, ini perlu diperhatikan serius. Sepertinya ada asumsi yang perlu diluruskan dari mereka yang mengkritik Menhan. Dorongan agar Menhan memberi masukan dan menghalau IKN tidak menjadi New Beijing menyimpan asumsi bahwa Menteri Pertahanan memiliki kewenangan besar untuk mengintervensi proyek tersebut. Dengan posisi Prabowo sebagai menteri dan bawahan Presiden, bagaimana mungkin kewenangan besar itu dimiliki.

Sekalipun memberi masukan, yang memutuskan adalah RI-1. Seperti pernyataan Presiden Jokowi, tidak ada visi misi menteri, yang ada adalah visi misi Presiden. Nah sekarang yang kedua, terkait rentannya posisi IKN terhadap ancaman serangan. Sekali lagi, ini juga menyimpan asumsi yang keliru dan perlu diluruskan. Kritik-kritik itu masih berkutat pada persepsi perang konvensional. Mereka masih membayangkan perang adalah head-to-head,
menurunkan bom dan pasukan infanteri seperti di Perang Dunia II.

Mengutip Norman Angell dalam bukunya The Great Illusion, dengan besarnya biaya perang, dan saling terikatnya satu negara dengan yang lainnya, sulit membayangkan ada negara yang begitu tidak rasional menjatuhkan bom ke negara lainnya. Saat ini, persepsi perang tidak lagi berkutat pada perang berdarah, melainkan perang siber, perang hibrida, atau setidaknya perang psikologis (psywar). Ini yang disebut sebagai perang generasi keempat, perang yang bersifat asimetris.

Pihak yang terlibat tidak lagi harus berhadapan langsung, melainkan bergerak dinamis, menyebar, dan tidak terpusat. Seperti kata George Dimitriu, perang tidak lagi antar negara dengan negara, melainkan negara dengan non-negara, seperti perusahaan multinasional. Dalam hal ini, perusahaan multinasional tidak serta merta menjadi aktor utama, melainkan dapat juga bertindak sebagai proxy negara yang ingin mengganggu Indonesia. Sekalipun menggunakan persepsi perang konvensional, menurut riset Global Peace Index tahun 2020, hanya Jepang negara di Asia yang dapat dikatakan aman dari potensi invasi bersenjata.

Jika berbicara potensi ancaman, pada dasarnya tidak ada lokasi yang benar-benar aman, bahkan lubang semut sekalipun. Jika suatu negara ingin menginvasi, mereka akan menemukan cara untuk menurunkan prajurit dan serangan-serangan mematikannya. Contoh kurang relevannya persepsi perang konvensional bisa kita lihat di Singapura. Jika berbicara lokasi, kurang rentan apa Singapura? Pulaunya sangat kecil dan dikelilingi oleh berbagai negara.

Lanjut ke halaman berikutnya -->

Simak Video 'Awal Pernyataan Edy Mulyadi Sebut Prabowo 'Macan Mengeong'':

[Gambas:Video 20detik]



ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT