Ngawur! Harga Kedelai Meroket Bukan Salah Babi di China

Ngawur! Harga Kedelai Meroket Bukan Salah Babi di China

Aulia Damayanti - detikFinance
Kamis, 24 Feb 2022 07:00 WIB
Istilah babi dalam komposisi makanan
Foto: iStock
Jakarta -

Pemerintah sempat mengungkap salah satu penyebab tingginya harga kedelai akibat ternak babi di China. Keterangan ini pun disoroti berbagai pihak dan masyarakat.

Political Economic and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan menegaskan, pernyataan dari Kementerian Perdagangan itu merupakan kesalahan pahaman. Menurutnya, kenaikan harga kedelai internasional tidak ada hubungannya dengan ternak babi di China.

"Ini Kementerian Perdagangan gagal paham bagaimana pembentukan harga komoditas pembentukan harga kedelai," katanya kepada detikcom, Rabu (23/2/2022).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Menurut saya pernyataan itu memang salah. Ngawur gitu! Itu tidak ada hubungannya. Kita lihat dari 2012 hingga 2018 malah itu selama 5 tahun itu permintaan kedelai di China itu meningkat tetapi harga kedelai malah turun. Konsumsi (kedelai) untuk babi tahun ini sudah mulai turun," jelasnya.

Ia menjelaskan tingginya harga kedelai karena kebijakan moneter global menerapkan moneter inflationary. Istilah itu merupakan kebijakan moneter yang sangat longgar sehingga memicu inflasi terhadap harga komoditas.

ADVERTISEMENT

"Saat ini tidak hanya harga kedelai saja, semua komoditas dari harga minyak, minyak goreng dikaitkan dengan kelapa sawit dan harga batu bara itu semua naik. Bukan masalah permintaan dunia yang naik," ujarnya.

Kebijakan moneter yang sangat longgar ini berkaitan suku bunga bank sentral yang diturunkan menjadi nol. Jika bank sentral AS bisa membalikan kondisi saat ini, tentunya harga komoditas akan turun.

"Sebentar lagi harga komoditas kalau kebijakan AS menaikan suku bunga karena mereka sudah inflasi 7% 2021 dan kebijakan moneter di AS memulihkan kondisi ini. Maka harga komoditas bisa turun, seperti pada saat 2012," jelasnya.

Ia menyarankan agar pemerintah bisa memberikan subsidi kepada produsen kedelai atau pengrajin tempe dan tahu. Sebab harga kedelai internasional memang tidak bisa lagi untuk dipengaruhi.

"Itu aja. Kita ini tidak bisa menghindari sama sekali kalau harga komoditas internasional naik," imbuhnya.

Dalam keterangan terpisah, Sekretariat Nasional Jaringan Organisasi Komunitas Warga Indonesia pendukung Jokowi (Seknas-Jokowi) mengatakan masalah tempe dan tahu bukan perkara sepele.

Sekretaris Dewan Pakar Seknas Jokowi Todotua Pasaribu menegaskan ada banyak keluarga yang bergantung pada produksi tempe dan tahu. Ia juga mengingatkan agar jangan sampai merusak kepercayaan masyarakat ke pemerintah akibat masalah ini.

"Hal yang paling diwaspadai, hilangnya kepercayaan rakyat kepada pemerintah. Masalah tempe tahu bukan perkara sepele, tapi ini persoalan politik dan kedaulatan pangan, masalah perut rakyat, masalah kehadiran negara di tengah-tengah rakyat. Singkatnya ada sekian banyak keluarga, yang hidupnya tergantung pada produksi tempe, sejak dari hulu sampai ke hilir," ujarnya, dalam keterangan resmi.

Todotua meminta agar pemerintah dan pemangku kepentingan terkait segera melakukan komunikasi untuk mencari titik temu mengatasi naiknya harga tempe agar tidak berlarut-larut.

"Perlu diambil kebijakan lintas kementerian soal kebijakan budidaya kedelai lokal dan impor kedelai oleh Kementan dan Kemendag agar ada koordinasi yang lebih solid. Selain itu, sebaiknya pengadaan kedelai jangan dilepas ke perdagangan bebas, perlu ada proteksi dari pemerintah agar harga kedelai stabil, mengingat tempe adalah makanan "sejuta umat," ujarnya.

Simak juga 'Pedagang Tahu Tempe di Tasik Kembali Berjualan, Tapi Ukuran Berubah':

[Gambas:Video 20detik]



(das/das)

Hide Ads