Rusia dibanjiri sanksi ekonomi karena aksinya menyerang Ukraina. Meski Rusia menjalin banyak kerja sama dagang dengan China, namun hal itu tak sebanding dengan sanksi-sanksi yang akan diterima Rusia dari berbagai negara.
Setelah kejadian Rusia menginvasi Ukraina, AS, Inggris, dan Uni Eropa langsung mengeluarkan sanksi-sanksi yang bertujuan untuk mengisolasi Rusia dari ekonomi global.
China sendiri adalah mitra dagang terbesar bagi Rusia dan Ukraina. Perdagangan antara China dan Rusia mencapai rekor tertinggi yaitu US$ 146,9 miliar atau Rp 2,1 triliun (kurs 14.300) pada tahun 2021. Menurut Badan Bea Cukai China, rekor tersebut naik 35,8% YoY dan impor China dari Rusia juga lebih dari US$ 10 miliar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dari tingkat impor dan ekspor saat ini, perdagangan perlu tambahan peningkatan sebesar 37% untuk bisa mencapai tujuan antara Moskow dan Beijing sebesar US$ 200 miliar atau Rp 2,8 triliun pada tahun 2024.
"China dan Rusia adalah mitra strategis yang komprehensif. China dan Ukraina adalah mitra yang bersahabat," kata Asisten Menteri Luar Negeri Hua Chunying, yang dikutip dari CNBC, Sabtu (26/2/2022).
Meski Rusia menjalin hubungan dagang yang cukup bagus dengan China, namun hal itu tak sebanding dengan sanksi-sanksi yang akan dihadapi. Mulai dari akses keuangan Rusia yang dibatasi oleh Amerika dan Uni Eropa, hingga sanksi dari Jepang yang akan menyetop pasokan chip.
Akibat hal ini, Rusia juga sudah mengalami dampaknya. Seperti rubel yang merosot ke level terendah terhadap dolar AS. Kemudian indeks saham Moskow juga terjun bebas hingga lebih 10% pada Senin lalu. Kondisi ini membuat pasar saham Rusia merugi hingga US$ 25 miliar dalam satu pekan.
Analis JPMorgan Chase mengungkapkan potensi penurunan harga ini masih bisa terjadi dalam waktu dekat. Apalagi Wall Street juga menurunkan peringkat ekuitas Rusia menjadi netral.
Simak Video 'Rusia Invasi Ukraina, China Malah 'Marahi' PBB':