Jakarta -
Sejak invasi Rusia ke Ukraina pada Kamis (24/2), membuat negara-negara Barat minggu ini telah menyiapkan beberapa sanksi kepada Rusia, sebagai bentuk dukungan mereka terhadap Ukraina. Pengumuman sanksi tersebut akan menjadi langkah Amerika Serikat, Uni Eropa, Inggris, dan beberapa negara lainnya untuk menguji 'benteng ekonomi' Rusia.
Kurang dari 24 jam, setelah serangan Rusia ke Ukraina dari Utara, Selatan, dan Timur, Presiden Amerika Serikat Joe Biden meluncurkan sanksi besar yang dirancang untuk merusak ekonomi Rusia. Penargetan sanksi itu meliputi lembaga keuangan, pelumpuhan pasukan militer, hingga bidang industri.
Sejak 2014, AS dan sekutu Baratnya telah memberlakukan sanksi terhadap Moskow. Hal itu membuat presiden Rusia Vladimir Putin telah berusaha memperkuat ekonomi mereka, agar mampu menahan beberapa sanksi yang nantinya akan jauh lebih berat lagi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dilansir dari CNN Internasional (27/2/2022), ketakutan akan sanksi yang mungkin diluncurkan beberapa pihak, membuat pasar saham Rusia jatuh 33% pada hari Kamis lalu. Sejak saat itu, Rusia berusaha memulihkan sebagian dari kerugian itu.
Namun, rubel (mata uang di Rusia) terus diperdagangkan walau mendekati rekor terendah terhadap nilai dolar dan euro. Jatuhnya nilai rubel, mampu menyusutkan nilai ekonomi Rusia sebesar $ 800 miliar.
Selama periode yang sama, Moskow telah mencoba memberhentikan proses jatuhnya nilai rubel itu secara berangsur-angsur atau bahkan sekaligus. Hal itu dilakukan dalam rangka membangun strategi untuk memulihkan ekonominya.
Ekonomi Rusia bergantung pada komoditas minyak. Selain itu, upaya benteng ekonomi juga dilakukan dengan membatasi pengeluaran pemerintah, dan menjaga cadangan mata uang asing mereka.
Perencanaan ekonomi Putin telah mampu meningkatkan produksi barang-barang tertentu di dalam negeri dengan memblokir produk-produk yang setara dari luar negeri. Sementara itu, Moskow telah mengumpulkan dana cadangan internasional sebesar US$ 630 miliar. Jumlah tersebut termasuk jumlah yang sangat besar, jika dibandingkan dengan sebagian besar negara lain.
Bersambung ke halaman selanjutnya.
Seorang ekonom Citi dan beberapa rekannya di Chatham House David Lubin, mengatakan 'benteng ekonomi' membutuhkan penciptaan cadangan mata uang asing yang sangat besar, yang akan bisa digunakan jika sanksi yang diterima lebih berat.
Menurutnya, Rusia telah mengikuti pola strategi benteng ekonomi itu dengan baik, karena Rusia telah melakukan pencadangan mata uang asing. Upaya pencadangan mata uang asing itu bisa dilihat dari apa yang sudah dilakukan bank sentral Rusia.
Bank sentral Rusia mengatakan, bahwa pihaknya telah melakukan intervensi di pasar mata uang untuk menahan nilai rubel. Selain itu, kantor berita negara Rusia TASS News Agency juga melaporkan, bahwa beberapa bank telah mengalami peningkatan penarikan uang, sejak invasi Rusia ke Ukraina terutama pada mata uang asing.
Putin juga telah membatasi pertumbuhan ekonomi, investasi, produktivitas, dan memprioritaskan kegiatan perusahaan negara daripada bisnis swasta.
Uni Eropa, Inggris, Jepang, Australia, dan negara-negara lain mengumumkan sanksi mereka sendiri terhadap perusahaan dan individu Rusia baru-baru ini.
Bentuk strategi Rusia dalam mempersiapkan ekonominya untuk saat ini, juga dilakukan dengan memfokuskan pada harga minyak global senilai $100 per barel. Penetapan harga itu bisa menghasilkan pendapatan lebih tinggi bagi negara. Moskow memastikan bahwa gaji dan pensiun rakyatnya bisa dibayarkan.
Bagaimana, jika Rusia lebih banyak mendapat sanksi dari sebelumnya?
Amerika Serikat dan Uni Eropa sejauh ini menghindari penargetan ekspor minyak dan gas alam Rusia secara besar. Namun, mereka belum bisa mencapai kesepakatan bersama mengenai langkah pemutusan Moskow dari jaringan pesan keamanan tinggi yang menghubungkan ribuan lembaga keuangan di seluruh dunia Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication (SWIFT).
Beberapa ahli berpendapat bahwa keputusan negara Barat di atas harus dipertimbangkan sekarang, agar secepatnya mampu mencegah Putin dari agresinya lebih lanjut.
Ukraina telah meminta agar Rusia dikeluarkan dari SWIFT, seruan itu didukung oleh Lithuania, Estonia, Latvia, dan Inggris, tetapi ditentang oleh negara-negara Eropa lainnya, terutama Jerman.
Langkah tersebut bisa saja menjadi pukulan balik ekonomi yang signifikan bagi negara-negara Barat. Penurunan ekspor minyak mentah Rusia juga akan mendorong kenaikan harga minyak dan bensin.