Perbandingan Tingkat Partisipasi Kerja Perempuan dan Laki-laki, Masih Jauh Beda

Perbandingan Tingkat Partisipasi Kerja Perempuan dan Laki-laki, Masih Jauh Beda

Ignacio Geordi Oswaldo - detikFinance
Kamis, 31 Mar 2022 14:40 WIB
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah dan CEO Huawei Indonesia Jacky Chen menyaksikan Penandatanganan Nota Kesepahaman Bersama (MoU) antara Kemnaker dengan Huawei Indonesia.
Foto: Dok. Kemnaker
Jakarta -

G20 EMPOWER Gelar Side Event Pertama, Ciptakan Lingkungan Kerja Aman Bagi Perempuan Pasca Pandemi Covid-19

Percepatan dalam menciptakan lingkungan kerja yang aman bagi perempuan, menjadi salah satu isu prioritas yang dibahas dalam Group of Twenty (G20) Empower Presidensi Indonesia.

Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia, Ida Fauziyah mengatakan, khususnya di masa pandemi dan disrupsi digital, membuat perempuan berisiko lebih tinggi terhadap upah rendah dari pekerjaan di sektor informal dengan bentuk pekerjaan non-standar yang berisiko dan tidak aman.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Indonesia percaya dengan memajukan kesetaraan gender akan mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan, khususnya untuk perkembangan perekonomian G20," ujar Menaker Ida Fauziyah dalam keterangannya saat berbicara G20 Empower, ditulis Kamis (31/3/2022).

Pada kesempatan yang sama, Deputi Bidang Kesetaraan Gender Kementerian PPPA, Lenny N. Rosalin mengungkap fakta, kekerasan juga meningkat berkali lipat pada masa pandemi. Lenny mengutip data global yang menunjukkan bahwa kasus kekerasan telah bertambah sebanyak 31 juta kasus pada 6 bulan pertama pandemi dan semakin bertambah sampai pada angka 15 juta kasus per tiap 3 bulan selanjutnya.

ADVERTISEMENT

"Ini menjadi tantangan bersama mengingat partisipasi angkatan kerja perempuan berada pada angka yang rendah, bahkan sebelum pandemi. Data global menunjukkan bahwa TPAK perempuan berada pada angka rata-rata 47% jauh di bawah laki-laki yang berada pada angka 72%," jelas Lenny.

Lebih lanjut, Lenny menambahkan bahwa kekerasan terjadi secara massif di tempat kerja selama pandemi baik kepada perempuan yang bekerja offline maupun online. Pelaku kekerasan bisa berasal dari konsumen dan pengguna jasa yang merasa tidak nyaman akibat layanan yang terganggu akibat pandemi, juga marak dilakukan oleh atasan dan rekan kerja.

"Diskusi pada pertemuan kali ini harus menemukan solusi praktis dan implementatif untuk bagaimana kita membangun situasi dan kondisi kerja yang mendukung perempuan. Hal ini penting agar isu ini bisa masuk pada dokumen keluaran G20 Summit, dapat diadopsi oleh seluruh negara peserta dan yang paling penting, dapat diaplikasikan di perusahaan dan industri," katanya.

Sementara itu, dalam sambutannya, Co-Chair G20 EMPOWER, Rinawati Prihatiningsih menjelaskan, keseluruhan sesi diskusi kali ini bertujuan untuk membahas lebih jauh mengenai bagaimana pemerintah menavigasi tantangan dan peluang untuk meningkatkan kebijakan dan regulasi secara keseluruhan, tentang pemberdayaan perempuan dengan menciptakan tempat yang lebih aman untuk bekerja terutama setelah pandemi global.

"Diskusi ini juga bertujuan untuk mengidentifikasi bagaimana negara-negara anggota G20 EMPOWER dapat mendukung dan terlibat langsung secara kolaboratif, baik antara swasta dan pemerintah untuk mendukung pemberdayaan gender di lingkungan kerja, khususnya di tengah-tengah pekerja perempuan," jelasnya.

Pada sesi pertama, dibahas mengenai kesenjangan terkait indikasi kesetaraan gender yang semakin memburuk selama terjadinya pandemi secara global. Pandemi Covid-19 ternyata berimplikasi signifikan bagi perempuan, terutama di lingkungan kerja. Menurut laporan dari ILO pada 2021, saat pandemi, perempuan menghadapi kesulitan yang lebih signifikan, salah satunya risiko kehilangan pekerjaan yang lebih tinggi.

Selain itu, terjadi peningkatan pekerjaan pada bidang perawatan yang tidak dibayar. Buruknya lagi, terdapat paparan diskriminasi dan kekerasan yang lebih besar di tempat kerja.

"Selama Covid-19 di sepanjang 2020, sekitar 41 persen perempuan dipekerjakan dalam bidang pekerjaan yang berisiko tinggi. Risiko yang dimaksudkan di sini termasuk dalam dampak terhadap kehilangan pekerjaan hingga pengurangan jam kerja," katanya.

Dibahas juga seputar peraturan dan kebijakan yang diambil oleh pemerintah Jerman, Indonesia, Turki, dan India untuk meningkatkan pemberdayaan perempuan di tempat kerja selama/pascapandemi Covid-19. Menurut data yang dikuak, pandemi semakin memperburuk kesenjangan gender. Sebanyak 100 peserta hadir dari Amerika Serikat, Argentina, Brasil, Australia, Kanada, Meksiko, Turki, Indonesia, Korea Selatan, Jepang, China, Jerman, Inggris, India, Arab Saudi, Afrika Selatan, Italia, Indonesia, Perancis, Rusia ditambah Uni Eropa.

"Hal ini antara lain ditunjukkan dari data bahwa perempuan pada umumnya menghabiskan waktu 3 jam lebih lama dibandingkan pria dalam melakukan pekerjaan rumah tangga tanpa upah. Kondisi tersebut kemudian berpengaruh terhadap paparan tingkat stress dan menurunnya kondisi kesehatan mental, yang kemudian berdampak terhadap terhambatnya peningkatan pemberdayaan ekonomi perempuan," paparnya.

Lanjut Rinawati, diskusi panel ini tidak hanya membuka tantangan tetapi juga memperlihatkan beragam cara untuk memastikan perempuan dapat terus berpartisipasi aktif di tempat kerja, baik dari sektor swasta maupun sektor publik.

"Kita bisa melihat bersama bahwa tindakan proaktif dari sektor swasta dan sektor publik sangat penting dalam memastikan perempuan dapat memiliki tempat kerja yang aman di masa pandemi pasca-covid-19," kata Rinawati.


Hide Ads