Fakta-fakta Krisis Ekonomi Parah yang Menjerat Sri Lanka

Fakta-fakta Krisis Ekonomi Parah yang Menjerat Sri Lanka

Aulia Damayanti - detikFinance
Jumat, 08 Apr 2022 20:00 WIB
People leave after being informed by the manager of a Ceylon Petroleum Corporation fuel station that they are out of kerosene, amid the countrys economic crisis in Colombo, Sri Lanka, April 7, 2022. REUTERS/Dinuka Liyanawatte
Foto: AP/Eranga Jayawardena
Jakarta -

Sri Lanka dilanda krisis ekonomi. Negara di Asia Selatan itu mengalami kekurangan BBM, pemadaman listrik belasan jam, hingga bahan makanan yang kini mahal.

Berikut ini fakta-fakta krisis ekonomi di Sri Lanka

Utang Bengkak

Pada Februari 2022, negara itu hanya memiliki cadangan US$ 2,31 miliar. Sementara utang luar negeri yang harus dibayar sekitar US$ 4 miliar pada tahun 2022, termasuk obligasi negara internasional (ISB) senilai US$ 1 miliar yang jatuh tempo pada Juli ini.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

ISB merupakan bagian terbesar dari utang luar negeri Sri Lanka sebesar US$ 12,55 miliar. Termasuk dengan Asian Development Bank, Jepang, dan China di antara pemberi pinjaman utama lainnya.

Dalam tinjauan ekonomi negara yang dirilis bulan lalu, IMF mengatakan bahwa utang publik telah meningkat. Sementara cadangan devisa Sri Lanka tidak cukup untuk pembayaran utang.

ADVERTISEMENT

Ancaman Inflasi Meroket

Krisis ekonomi Sri Lanka disebut menjadi ancaman inflasi bagi negara lain di dunia. Saat ini, inflasi makanan di Sri Lanka mencapai 30,2% di bulan Maret.

Negara itu juga mengalami depresiasi 40% mata uang terhadap dolar AS dalam satu bulan. Utang publik yang diperkirakan oleh Dana Moneter Internasional sebesar 120% dari PDB. Belum lagi obligasi Sri Lanka senilai US$ 1 miliar yang jatuh tempo pada bulan Juli. Sementara cadangan devisa kabarnya minim.

Situasi negara itu makin runyam juga karena krisis energi. Semua faktor itu menyebabkan ratusan masyarakat Sri Lanka mengamuk, mereka pun melakukan demo. Mengutip Reuters, faktor-faktor inilah yang disebut akan menambah beban inflasi di negara lain.

Hal itu juga yang menjadi peringatan bagi ekonomi Eropa hingga Asia yang tiba-tiba bergulat dengan lonjakan biaya hidup. Sebelumnya invasi Rusia ke Ukraina yang membebani inflasi di beberapa negara Asia. Kini situasi ekonomi global ditambah bebannya dengan krisis di Sri Lanka.

Menteri-Gubernur Bank Sentral Mundur

Para menteri hingga Gubernur Bank Sentral Sri Lanka juga telah memutuskan untuk mengundurkan diri saat protes dari masyarakat semakin panas.

Dikutip dari CNN, Menteri Kehakiman serta Menteri Pemuda dan Olahraga, yang juga keponakan Presiden mengumumkan akan mengundurkan diri dari jabatannya. Menteri lain juga dikabarkan melakukan hal yang ama.

Setelah pengumuman itu, Gubernur bank sentral Sri Lanka Ajith Nivard Cabraal mengikuti langkah para menteri. Keputusan itu diambil sebagai buntut gejolak ekonomi negara yang semakin terpuruk.

Halaman berikutnya soal demo menuntut Presiden mundur dan biang kerok krisis di Sri Lanka. Langsung klik

Tuntut Presiden Mundur

Saat masyarakat telah mengamuk karena kecewa dengan kinerja pemerintahan saat ini, mereka menuntut Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa untuk mundur. Namun, kabarnya Rajapaksa tidak akan mengundurkan diri.

Meskipun demonstrasi menolak upayanya untuk mengatasi krisis ekonomi terburuk negara itu dalam beberapa dekade. Demikian dikutip dari Reuters.

"Bolehkah saya mengingatkan Anda bahwa 6,9 juta orang memilih presiden. Sebagai pemerintah, kami dengan jelas mengatakan presiden tidak akan mengundurkan diri dalam keadaan apapun. Kami akan menghadapi ini," kata Johnston Fernando, menteri yang menangani soal pembangunan jalan raya.

Biang Kerok Krisis Sri Lanka

Para pengamat mengatakan akar dari krisis saat ini karena pemerintah Sri Lanka sendiri. Pemerintah negara itu disebut tidak becus mengurus perekonomian negara.

Diduga pemerintah yang menyebabkan dan mempertahankan defisit. Hingga menyebabkan negara kekurangan anggaran di samping defisit berjalan.

"Sri Lanka adalah ekonomi defisit kembar klasik. Defisit kembar menandakan bahwa pengeluaran nasional suatu negara melebihi pendapatan nasionalnya, dan bahwa produksi barang dan jasa yang dapat diperdagangkan tidak memadai," kata Asian Development Bank 2019, dikutip dari Reuters, Jumat (8/4/2022).

Krisis ini juga dipercepat oleh pemotongan pajak yang besar. Potongan pajak merupakan janji dari Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa selama kampanye pemilihan 2019.

Kebijakan itu diberlakukan beberapa bulan sebelum pandemi COVID-19. Itu juga yang membuat ekonomi negara itu memburuk.


Hide Ads