Sri Lanka saat ini tengah menghadapi kebangkrutan. Hal ini terjadi setelah negara tersebut tengah dilanda krisis ekonomi akibat COVID-19 yang berlarut-larut.
Selain itu sekarang ini negara tersebut tengah dihadapkan pada masalah gagal bayar utang luar negeri sebesar US$ 51 miliar atau setara dengan Rp 729 triliun (asumsi kurs Rp 14.300).
Oleh karenanya Kementerian Keuangan Sri Lanka menyatakan bahwa negara tersebut telah gagal dalam membayar semua utang luar negeri, termasuk pinjaman dari pemerintah asing serta dana talangan IMF.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pemerintah mengambil tindakan darurat hanya sebagai upaya terakhir untuk mencegah penurunan lebih lanjut terkait kondisi keuangan," bunyi pernyataan kementerian dikutip dari NDTV, Rabu (13/4/2022)
Adapun krisis ekonomi yang terjadi di Sri Lanka ini bermula dari ketidakmampuan mengimpor barang-barang penting setelah pandemi COVID-19, menekan pendapatan dari pariwisata, dan pengiriman uang.
Pemerintah Sri Lanka memberlakukan larangan impor untuk menghemat cadangan devisa dan menggunakannya untuk membayar utang yang kini gagal bayar. Para ekonom mengatakan krisis diperburuk oleh salah urus pemerintah, akumulasi utang, dan pemotongan pajak yang tak sesuai.
Kekecewaan publik terhadap pemerintah meluas. Ribuan orang berkemah di luar kantor presiden dan menyerukan agar mundur. Kini warga Sri Lanka harus antre panjang untuk membeli bensin, gas, dan minyak tanah yang langka untuk memasak.
Melansir dari Aljazeera, Kamis (14/4/2022), sebelumnya Presiden Sri Lanka pernah meminta kepada ekspatriat negara itu untuk mengirim uang ke 'kampung halaman' karena negara tersebut tengah berjuang dengan krisis ekonomi terburuk dalam beberapa dekade terakhir.
Hal ini disampaikan oleh Presiden Gotabhaya Rajapaksa. Ia mengatakan orang-orang Sri Lanka di luar negeri yang mengirim mata uang asing pulang adalah sumber daya utama.
"Saya mengundang semua ekspatriat Sri Lanka untuk berinvestasi di Tanah Air mereka," katanya dalam sebuah pidato saat upacara memperingati Hari Kemerdekaan Sri Lanka sebagaimana dikutip dari Aljazeera.
Data menunjukkan bahwa penerimaan uang dari luar negeri sebagai salah satu penghasil devisa utama negara telah turun hampir 60 persen menjadi US$ 812 juta pada Desember dari tahun sebelumnya.
Sepanjang tahun, penerimaan uang turun sebanyak 22% menjadi US$ 5,4 miliar. Penurunan terjadi setelah pemerintah memerintahkan konversi wajib mata uang asing dan kontrol nilai tukar.
Karena kekurangan mata uang, importir tidak dapat membersihkan kargo mereka dan produsen tidak dapat membeli bahan baku dari luar negeri hingga akhirnya Sri Lanka telah mendeklarasikan kebangkrutannya.
(fdl/fdl)