Bukan Pandemi, Sri Mulyani Sebut Kondisi Ini 'Hantui' Ekonomi Dunia

Bukan Pandemi, Sri Mulyani Sebut Kondisi Ini 'Hantui' Ekonomi Dunia

Anisa Indraini - detikFinance
Jumat, 20 Mei 2022 15:12 WIB
Menkeu Sri Mulyani dan Menteri BUMN Erick Thohir bicara soal keberadaan Harley Davidson dan Brompton di pesawat Garuda. Menteri BUMN ungkap pemilik Harley itu.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati/Foto: Agung Pambudhy
Jakarta -

Ekonomi Indonesia mulai pulih dari tekanan pandemi COVID-19. Meski begitu, tantangan dan risiko baru telah muncul dari faktor global baik dari sisi geopolitik, ekonomi maupun keuangan yang sangat kompleks dan dinamis.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan ada tantangan besar lain yang perlu diwaspadai dan diantisipasi selain pandemi COVID-19 yang belum sepenuhnya selesai. Tantangan itu berasal dari perang Rusia-Ukraina yang menyebabkan lonjakan inflasi global dan percepatan pengetatan kebijakan moneter global khususnya di Amerika Serikat (AS).

"Di balik kelihatan Indonesia baik-baik saja menikmati berbagai hal pertumbuhan yang pulih, neraca pembayaran yang bagus dan berharap ini bisa kita jaga terus, di luar sana global economic environment tidak baik-baik saja. Perang di Ukraine is not about perang di Ukraine," kata Sri Mulyani dalam webinar Perempuan Tangguh dalam Ekspor Berkelanjutan, Jumat (20/5/2022).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kondisi inflasi yang tinggi dan percepatan pengetatan kebijakan moneter bisa menghasilkan pelemahan ekonomi atau bahkan resesi. Hal itu lah yang disebut stagflasi dan menghantui dunia saat ini.

"Jadi kombinasi antara inflasi tinggi dan pelemahan ekonomi menghantui ekonomi dunia, itu yang disebut stagflasi dan itu bukan tantangan yang mudah dan gampang diatasi," tutur Sri Mulyani.

ADVERTISEMENT

Perang Rusia-Ukraina telah menyebabkan disrupsi sisi produksi yang sangat besar sehingga mendorong kenaikan ekstrem tinggi harga-harga komoditas global. Harga minyak mentah terus berada pada kisaran US$ 100 per barel.

Sejak awal tahun, harga gas alam naik 127,0%, batu bara naik 137,3%, CPO naik 26,1%, gandum naik 56,5% dan jagung naik 34,3%. Secara indeks harga pangan dunia telah mengalami kenaikan 145,0% dibanding situasi awal 2020.

Indonesia sebagai negara yang memproduksi banyak komoditas memang diuntungkan, namun ada konsekuensi inflasi melonjak sangat tinggi. "(Inflasi) AS tertinggi dalam 40 tahun terakhir, Inggris, Eropa, bahkan Jepang yang langganan deflasi sekarang merasakan kenaikan harga-harga," ungkapnya.

Pergeseran risiko, tantangan inflasi, dan pengetatan moneter ini menimbulkan situasi pilihan kebijakan (policy trade-off) yang sangat sulit dihadapi semua negara di dunia. Pilihan kebijakan itu adalah apakah segera mengembalikan stabilitas harga (mengendalikan inflasi) yang berarti pengetatan moneter dan fiskal yang akan memberikan dampak negatif terhadap pertumbuhan, atau tetap mendukung akselerasi pemulihan ekonomi setelah terpukul pandemi.

"Kalau dalam bahasa Indonesia peribahasanya gampang. Kamu mau sebelah kiri Bapak kamu dimakan harimau, atau sebelah kanan ibu kamu dimakan buaya, dua-duanya tidak ada opsi yang mudah," tandas Sri Mulyani.

(aid/ara)

Hide Ads