Penjaja kopi keliling atau kerap disebut starling dengan sigap hilir mudik setiap hari di jalan-jalan Jakarta. Masyarakat yang menjajal profesi yang satu ini pun makin banyak jumlahnya di ibu kota.
Mereka menjajakan sederet minuman sachetan. Mulai dari kopi hingga teh manis. Mau yang panas ataupun yang dingin. Apapun pesanan minumannya akan dengan cepat disediakan oleh 'abang-abang' starling.
Kehadiran starling bukan merupakan hal baru di Jakarta. Selama beberapa tahun terakhir, penjaja kopi keliling nampak terus-terusan menjamur di Jakarta.
Kerap kali profesi ini juga dipandang sebelah mata. Ada kemungkinan hal itu terjadi karena masih banyak sekali fakta-fakta yang belum diketahui masyarakat di Jakarta soal starling.
Rohman bilang, menjadi starling di masa-masa sekarang sebetulnya makin susah. Dia terus menerus mengeluh pembeli jadi makin sepi. Hal ini sudah dirasakannya semenjak pandemi Corona sedang tinggi-tingginya merebak di Indonesia, khususnya Jakarta.
Bila dahulu dalam sehari dirinya bisa mengantongi pendapatan bersih sampai Rp 150 ribu lebih, saat ini bisa mendapatkan Rp 100 ribu saja sudah syukur. Rata-rata paling sering seharinya dia cuma mendapatkan pendapatan bersih Rp 70-90 ribu saja.
"Bukan sepi lagi, sepi beneran. Kalau kita mah lapar sama kenyang, banyak laparnya, benar-benar," keluh Rohman ketika ditemui detikcom di sela-sela pekerjaannya.
Dia tak tahu apa masalah yang membuat pembeli kopinya makin sepi, yang jelas menurutnya makin sedikit saja pembeli dagangannya semenjak pandemi merebak di Jakarta.
"Habis pandemi itu makin sepi benar. Kali aja karena orang nggak boleh wisata, nggak boleh ngantor. Apa-apa ditutup. Demo-demo juga banyak dilarang, untung-untungan ada demo begini kita," ujar Rohman.
Setali tiga uang, Agus seorang starling lainnya juga mengeluhkan hal yang sama. Pembeli kopi keliling makin sepi saat ini, pendapatannya pun berkurang.
Tak jauh berbeda dari Rohman, pendapatan bersihnya paling besar saat ini cuma mentok sampai Rp 100 ribu. Saking sepinya, Agus yang juga berasal dari Madura bercerita seringkali pendapatannya cuma cukup untuk makan sehari dengan istrinya.
Di Jakarta, Agus tinggal bersama dengan istrinya. Menyewa kos satu petak dengan harga Rp 300 ribuan per bulan. Dia meninggalkan satu anak yang masih mengenyam bangku sekolah dasar di Madura.
"Kalau sepi mah cukup makan sama istri aja ya sekitar Rp 50 ribuan lah bersihnya," ujar Agus.
Pendapatan yang makin minim ini harus disiasati Agus untuk berbagai hal. Mulai dari kebutuhan sehari-hari dia dan istrinya di Jakarta, uang sewa kosnya, dan juga mengirim uang ke keluarganya di kampung.
Kelihatannya, menjual kopi sasetan terlihat seperti pekerjaan yang 'modal dengkul doang', tapi ternyata modal yang dibutuhkan untuk menjadi starling cukup besar.
Untuk membentuk sebuah sepeda khusus starling setidaknya butuh uang jutaan rupiah. Menurut Agus, salah satu penjaja kopi keliling, mengatakan butuh sekitar Rp 1 jutaan hanya untuk membuat sepeda khusus starling lengkap dengan kotak pembawa termos dan isi dagangan lainnya.
Dia menjabarkan untuk sepeda saja bila menggunakan harga sekarang bisa mencapai Rp 750 ribu hingga Rp 1 juta sendiri. Dia sendiri terakhir membeli sepeda dengan harga Rp 450 ribu, itupun sepeda bekas.
Kemudian, modal ditambah lagi untuk membeli kotak pembawa termos dan isinya yang bisa mencapai Rp 500 ribuan lebih.
"Itu baru sepeda aja udah dekat Rp 1 jutaan kan. Gede modalnya ini kita," ungkap Agus kala ditemui detikcom di sela-sela kegiatannya.
Untuk kotak pembawa termosnya sendiri dihargai sekitar Rp 250 ribu. Kemudian satu termosnya dihargai sekitar Rp 120 ribu, setiap starling menggunakan dua termos, artinya butuh uang Rp 240 ribu untuk membeli termos. Terakhir, tempat penyimpan es batu dihargai sekitar Rp 75-100 ribu.
Itu baru tunggangannya saja, belum uang untuk belanja kopi, rokok, hingga cemilannya. Agus bilang harganya bisa mencapai Rp 1,5 jutaan satu paket.
Paket itu berisi sederet rencengan minuman sachet siap saji, beberapa renceng makanan ringan kacang-kacangan, dan juga sepaket rokok berisi sekitar 20-30 bungkus rokok berbagai merek.
Agus bilang hal itu bisa didapatkan dari pihak yang disebutnya sebagai 'bos'. Bos di sini adalah pihak yang menyetok keperluan para starling, mulai dari minuman sasetan hingga rokok. Agus dapat menemui mereka di kawasan Kwitang, di sana ada kawasan khusus pedagang kopi keliling.
Dari hasil penelusuran detikcom, ternyata profesi starling ini didominasi oleh masyarakat suku Madura. Mereka merantau dari timur Jawa menuju ibu kota. Mengharapkan penghidupan dan rezeki yang lebih layak daripada di kampung halaman.
Menurut pengakuan beberapa starling yang ditemui detikcom, mereka sama-sama mengaku diajak oleh orang sekampungnya untuk merantau ke Jakarta. Arus urbanisasi benar-benar terjadi di balik banyaknya orang Madura yang merantau ke Jakarta untuk menjadi starling.
Rohman salah satunya, dia merantau ke Jakarta sejak tahun 2010 yang lalu, diajak oleh salah satu kawannya yang sudah lebih dulu jadi penjaja kopi keliling di Jakarta.
"Saya waktu itu diajak kawan yang ada di sini. Itu tahun 2010-an," ungkap Rohman.
Dia menuturkan, seringkali orang-orang Madura yang ada di Jakarta mengajak kawan-kawan atau saudaranya dari Madura untuk bekerja di Jakarta. Salah satunya bekerja menjadi penjaja kopi keliling.
Bahkan, tak jarang satu orang yang mudik ke Madura akan membawa 3-5 orang kawannya saat kembali ke ibu kota. Biasanya, bagi laki-laki yang sudah lulus pendidikan madrasah setingkat SMA ataupun laki-laki yang baru menikah akan diajak untuk bekerja di Jakarta.
"Jadi banyak kawan kami di sini, dagang kopi keliling begini. Nah diikuti satu dari kampung, diikuti satu lagi, satu lagi, jadi banyak lah. Jadi dia kalau pulang, balik sini lagi bisa bawa orang 5 orang," kata Rohman.
Rohman mengaku bukan cuma di Jakarta, di kota-kota sekitar ibu kota banyak juga orang-orang Madura yang menjadi starling. "Banyak sekali bukan di Jakarta saja, di Bekasi ada, Tangerang itu di Cengkareng juga ada," tuturnya.
Roni, kawan Rohman juga mengatakan hal yang sama. Menurut pengakuannya, di tahun 2006 yang lalu dia diajak oleh saudaranya untuk bekerja di Jakarta. Dia diajak untuk menjadi pedagang kopi keliling di Jakarta.
"Saya waktu ditawarkan jadi pedagang kopi, tahun itu memang belum banyak, memang besar pendapatannya. Kalau sekarang kan sudah ramai, saingan banyak," cerita Roni kepada detikcom.
Dia mengaku tergiur dengan penghasilan yang diraih saudaranya itu dengan bekerja di Jakarta. Tanpa pikir panjang dengan modal seadanya dia cabut dari kampung halamannya ke Jakarta.
"Saya jualan dari cuma kopi aja, nggak ada esnya. Satu gelas masih seribuan rupiah, sekarang sudah Rp 5 ribuan," kisahnya.
Meski begitu, saat ini menjajakan kopi di Jakarta sudah sangat sulit. Jumlah starling yang membludak dan pelanggan yang makin sepi membuat peruntungan abang-abang starling makin berkurang.
Bahkan, Rohman menceritakan, di masa awal pandemi mayoritas para starling asal Madura berbondong-bondong pulang kampung. Mereka takut pembatasan aktivitas publik membuat mereka tak bisa berdagang. Sampai sekarang pun menurutnya belum banyak penjaja starling asal Madura yang balik ke Jakarta.
"Yang ada lockdown itu kan semua nggak bisa keluaran, kami balik semua. Rata semua pulang ke Madura. Sebagian belum pulang balik lagi ke sini. Ibaratnya 100 itu masih 30-nya saja di sini," tutur Rohman.