Perusahaan rintisan (startup) mulai dari LinkAja, Zenius, SiCepat, hingga JD.ID kompak melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) kepada karyawannya dalam waktu berdekatan. Kondisi ekonomi makro yang buruk hingga reorganisasi Sumber Daya Manusia (SDM) jadi alasannya.
"Saat ini kita sedang mengalami kondisi makro ekonomi terburuk dalam beberapa dekade terakhir. Untuk beradaptasi dengan dinamisnya kondisi makro ekonomi yang memengaruhi industri, Zenius perlu melakukan konsolidasi dan sinergi proses bisnis untuk memastikan keberlanjutan," kata manajemen Zenius.
Lebih dari 200 karyawan terpaksa harus meninggalkan Zenius. Sementara LinkAja dan JD.ID tidak diketahui pasti jumlahnya, yang jelas ratusan orang di-PHK.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Fenomena Startup Ramai-ramai PHK Karyawan
Direktur Eksekutif Institute for Development Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad mengatakan secara umum PHK besar-besaran terjadi di startup karena dua sebab.
"Pertama mereka ingin melakukan restrukturisasi karena ada skenario bisnis. Yang kedua, memang pencapaian kinerja lagi kurang bagus sehingga mereka melakukan efisiensi," katanya kepada detikcom.
Sebelum mengambil langkah PHK besar-besaran, lazimnya startup yang sedang mengalami penurunan kinerja itu telah berupaya melakukan perubahan, namun tidak ada hasil. Maka skenario yang diambil adalah PHK.
"Tapi intinya dalam hal ini, hak-hak pekerja jangan sampai dihilangkan apalagi untuk perusahaan BUMN," jelas Tauhid.
Tauhid menambahkan, saat ini fenomena ledakan gelembung atau bubble burst memang sedang melanda startup-startup di Indonesia. Bubble burst bisa diketahui dari kinerja perusahaan yang kurang baik.
Sementara itu, Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan penyebab PHK besar-besaran di startup karena alami kesulitan pendanaan setelah rencana bisnis terpengaruh pandemi COVID-19 dan penurunan pengguna yang signifikan.
Meski selama pandemi COVID-19 terjadi lonjakan pengguna internet, tidak semua merata dirasakan oleh startup. Akhirnya banyak startup kesulitan mendapatkan pendanaan baru dan investor makin selektif dalam memilih startup.
"Faktornya, secara makro kenaikan tingkat suku bunga diberbagai negara membuat investor mencari aset yang lebih aman. Imbasnya saham startup teknologi dianggap high risk. Maka banyak yang meramal tahun ini adalah winter-nya startup alias tekanan sell-off besar-besaran di industri digital," ujarnya.
(aid/zlf)