Sebagian besar kaum muda saat ini melihat kerja di startup adalah sesuatu yang keren dan menjanjikan. Kantor yang berlokasi di kawasan-kawasan bisnis elit, kerja sambil liburan di Bali, hingga nongkrong setiap hari di coffee shop ternama menjadi keseharian para pekerja startup yang dikenal dengan istilah 'Startup Life'.
Sayangnya, kehidupan di industri tersebut tak seindah di media sosial. Yang perlu diingat adalah, tidak semua startup memiliki sistem dan budaya kerja yang sama.
Menanggapi stigma menyangkut 'Startup Life' tersebut, pegawai dari salah satu startup e-commerce yang tidak mau disebutkan identitasnya mengakui bahwa lifestyle di lingkungan kerjanya termasuk ke dalam golongan menengah ke atas.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Harus gue akuin lifestyle di lingkungan kerja gue memang rada-rada menengah ke atas, untuk kaya spend money on themselves. Menurut gue, itu bawaannya bukan karena startup, tapi memang mereka dari dulu kayak gitu. Ibaratnya mereka udah punya lifestyle itu," ujar dia kepada detikcom, Kamis (14/07/2022).
Sedangkan menurutnya, perkara mengikuti lifestyle lingkungan kantor adalah pilihan yang bergantung pada masing-masing individu. Pun dari segi sosial, dia mengatakan rekan-rekan kerjanya memiliki pemikiran yang terbuka dan toleran, sehingga dia mengakui tidak ada masalah dalam pergaulan.
"Kalau nongkrong-nongkrong kayak gitu, gue masih bisa tahan karena itu bukan gue. Kalau temen-temen gue ngajak, ya itu bisa gue atur. Karena kan satu dua kali, nggak setiap hari. Dan kalaupun diajak tiap hari, ya itu bisa gue atur," tuturnya.
Sementara itu, salah satu karyawan startup bidang kesehatan yang diwawancarai terpisah mengakui dari sisi penghasilan ternyata diakuinya terbilang mepet. Sementara pekerjaan yang diberikan sangat banyak.
"Mereka nge-push tapi nggak ngasih apresiasi. Kita lembur sampai jam 1 pagi, tapi kita nggak dikasi hak prerogatif untuk dapet bayaran lembur," akunya
Tidak hanya itu, ia bahkan mendapat peran tambahan tanpa diberi insentif lebih. Oleh sebab itu, dia mengaku gaji yang ia dapatkan tidak sepadan dengan hasil jerih payahnya. Makanya, dia perlu mencari penghasilan tambahan dari sumber lainnya.
"Gue kerja sebagai konsultan. Cuma karena mereka tau kemampuan gue seperti apa, gue di double job-in jadi research and development (R&D). Meski demikian, gue tetep di bayar satu, untuk satu job itu dan nggak double," tambahnya.
"Buat nutupin gaji sekecil itu aja, gue cari kerja tambahan di tempat lain. Tapi untungnya gue nggak konsumtif, nongkrong cuma 1-2 kali seminggu. Sisanya cari promo dan gratisan," tambahnya.
Lanjut ke halaman berikutnya.
Sementara itu, Farah, pegawai salah satu startup e-commerce juga mengkonfirmasi kebenaran menyangkut stigma 'Startup Life' benar adanya. Meski demikian, tidak bisa disebut 100% benar juga.
"Untuk hedon, bisa dibilang bener, di mana kita dibebasin work from anywhere. Ada yang di Bali, ada yang di cafe. Tapi untuk kerja bebas, itu salah banget, karena kita bisa overtime. Idealnya PNS itu cuma sampe jam 4. Kita itu paling pagi di perusahaan aku itu jam 6 dan paling normal itu beres jam 8 malem," tuturnya.
Di sisi lain, ia mengatakan tidak terlalu mengikuti gaya hidup tersebut. Bahkan, gaji yang ia dapatkan dirasa cukup bahkan lebih. Dengan kemudahannya yang bisa work from anywhere (WFA), dia mampu menghemat lebih banyak uangnya.
"Yang harusnya gue ke kantor, ngeluarin transport, makan siang, makan malem, nongkrong, tapi gue bisa save money sebanyak itu karena gue di rumah dan gue jarang nongkrong," tutur Farah.
Bakti, seorang pegawai di salah satu startup financial technology (fintech) mengaku terlepas dari gaya hidup yang dibicarakan orang-orang, ia merasa senang dan nyaman berada di lingkungan kerjanya itu.
"Subjektif banget (lifestyle). At least gue merasa keren sih (kerja di perusahaannya). Kalau lingkungannya, ya it's fun. I would say nggak ada gap seniority yang besar," ujar dia.
Menurutnya, hal yang berhubungan dengan lifestyle adalah hal yang subjektif. Meski demikian, fleksibilitas kerja yang di dapat membuat mereka yang bekerja di startup memiliki lebih banyak option dan kebebasan.
"One thing for sure adalah kebanyakan dari temen-temen startup gua lebih free to make a choice. Karena fleksibilitas kerja dan juga mindset yang progressive mereka jadi bisa choose how they want to spend their money and live their life," tutup Bakti.
Simak Video "PLN Startup Day 2025: Jembatan Startup Wujudkan Energi Masa Depan"
[Gambas:Video 20detik]
(zlf/zlf)