Ketua MPR RI Bambang Soesatyo berharap Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) periode 2022-2027 terlantik bergerak cepat menjadikan OJK lembaga yang kuat, berwibawa, fleksibel, dan tidak kaku.
Dengan begitu, OJK bisa menjaga ekosistem industri keuangan tetap sehat. Terutama dalam menghadapi digitalisasi keuangan dan ekonomi digital yang perkembangannya kian cepat dan pesat. Mulai dari sektor teknologi finansial, perdagangan, elektronik (e-commerce), Bursa Komoditas, kripto sampai metaverse.
Ia menjelaskan dalam laporan Google Temasek & Bain, valuasi ekonomi digital Indonesia pada tahun 2021 tumbuh 49% menjadi US$ 70 miliar. Angka tersebut diprediksi merangkak naik menjadi US$ 146 miliar di tahun 2025. Di sektor e-commerce misalnya, Bank Indonesia mencatat transaksi pada tahun 2021 telah mencapai Rp 401 triliun dan diprediksi akan mencapai Rp 530 triliun di tahun 2022.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kementerian Komunikasi dan Informatika mencatat per Oktober 2021, perputaran dana dalam bisnis financial technology seperti pinjaman online dan lainnya tercatat mencapai Rp 260 triliun. Sementara perdagangan aset kripto, menurut Kementerian Perdagangan, nilai transaksinya meningkat dari Rp 64,9 triliun pada tahun 2020 menjadi Rp 859,4 triliun pada tahun 2021. Di periode Januari hingga Juni 2022 sudah mencapai Rp 212 triliun," ujar Bamsoet dalam keterangannya, Rabu (20/7/2022).
Pada pelantikan Dewan Komisioner OJK terpilih oleh Ketua Mahkamah Agung RI Syarifuddin, Bamsoet menjelaskan kendati industri keuangan dan ekonomi digital di Indonesia terus mengalami peningkatan, ia mengingatkan akan permasalahan keuangan digital seperti kasus pinjaman online illegal, investasi bodong, hingga permasalah di sektor asuransi masih menjadi pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan oleh OJK Periode 2022-2027.
Satuan Tugas Waspada Investasi OJK telah melaporkan kerugian yang dialami masyarakat akibat investasi ilegal pada periode 2011 hingga 2021 mencapai Rp 117,4 triliun dengan jumlah korban mencapai jutaan orang. Akan hal itu, Bamsoet menegaskan masyarakat tidak boleh kembali menjadi korban.
"Undang-Undang OJK dengan tegas mengamanatkan Dewan Komisioner harus terlibat dalam pembuatan kebijakan operasional pengawasan, yang pengawasannya dilakukan oleh Kepala Eksekutif. Menunjukan bahwa kepemimpinan di OJK adalah kolektif kolegial, sehingga Kepala Eksekutif harus melapor kepada Dewan Komisioner," ujarnya.
"Karenanya harus ada agenda resmi secara berkala yang memfasilitasi Kepala Eksekutif melapor ke Dewan Komisioner sebagai wujud implementasi check and balances. Sehingga Dewan Komisioner bisa bergerak cepat menangani berbagai permasalahan yang terjadi, khususnya dalam memberantas investasi ilegal," jelas Bamsoet.
Mengingat besarnya total aset Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) mencapai Rp 2.839,9 triliun, ia menyarankan OJK untuk bertransformasi dalam meningkatkan kompetensi dari para pengawas, khususnya di sektor industri keuangan non-bank (IKNB) agar bisa semakin kuat dan berwibawa.
"Kontribusi terbesar masih berasal dari industri asuransi yang memiliki kontribusi 34,61% dengan nilai transaksi mencapai Rp 982,82 triliun. Pengawas IKNB harus memiliki kompetensi dan alat untuk melakukan analisa terkait investasi asuransi dan dana pensiun. Sehingga ke depannya tidak lagi ditemukan kasus seperti Jiwasraya, Bumiputera, maupun Asabri," terang Bamsoet.
Bamsoet menambahkan OJK juga harus mulai membuat kajian tentang keberadaan kripto yang perkembangan transaksinya semakin pesat. Tidak menutup kemungkinan, kedepannya pengawasan dan pengaturan kripto bisa menjadi tanggung jawab OJK melalui IKNB. Sehingga perkembangan kripto bisa turut dibahas dan dipantau dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang beranggotakan Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, OJK, dan Lembaga Penjamin Simpanan.
"Dalam pertemuan para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral dalam rangkaian Presidensi G20 Indonesia pada 17-18 Februari 2022 lalu di Jakarta, negara G20 sepakat untuk mengatur dan mengawasi bersama perkembangan aset kripto guna memperkuat pengelolaan risiko atas kejahatan teknologi dan digitalisasi," ujarnya.
"Pada Juli 2022 ini, melalui Financial Stability Board (FSB), negara-negara anggota G-20 kembali membahas teknis bagaimana pengaturan dan pengawasan kripto yang bisa dilakukan oleh otoritas negara," pungkas Bamsoet.
(ncm/ega)